Saturday, October 11, 2008

Masa Lalu

: ang

DUA jam sudah lama ia duduk diatas ranjangnya tanpa melakukan apa-apa. Tangannya memegang kertas yang sudah kumal dan penuh coretan. Dibacanya berkali-kali tulisan yang ada dikertas tersebut. Tak ada yang istimewa dengan tulisan dikertas itu. Hanya rentetan semacam jadwal yang dua tahun lalu di susunnya untuk dirinya sendiri. Tulisan dikertas itu tampak tidak rapi, disana-sini ada coretan dibeberapa kata. Meski terlihat suram, ia tetap mencoba tersenyum dan tertawa kecil ketika membaca tulisan tersebut.

Diwaktu yang sama, seorang gadis membuka gerbang rumah. Menuntun perlahan motornya masuk kedalam. Ia tampak kelelahan. Ia tampak tidaknya nyaman dengan kaos seragam kerjanya. Mungkin karena gerah dan beringat. Ia memasukan motor kedalam garasinya. Lalu ia menuju kamarnya. Melepas sepatunya, lantas membaringkan tubuhnya yang mungil itu diatas ranjang. Diraihnya remote control TV, lalu menyalakannya. Ia bangkit dan segera mengganti pakaiannya. HP bergetar. Satu SMS diterima. Diraihnya HP nya, dilihatnya siapa yang mengirim pesan. Tanpa membacanya dihapusnya pesan itu. ”dia lagi, apa sih maunya?” gumamnya. Diletaknya HP-nya, dibiarkannya TV tetap menyala, lalu ia tidur.


Lelaki itu meletakkan HP-nya. ”pasti langsung dihapus” gumamnya. Kertas itu masih dipegangnya. Berulang kali ia baca tulisan dikertas itu. Sembari membaca ia berkali-kali melirik HP, berharap ada balasan, meskipun ia tahu pesannya takkan dibalas. Diambilnya tas hitam bututnya, lalu dikeluarkannya sebuah buku : Dunia Sophie. Ia mulai membaca. Ia melirik lagi HP-nya. Tak ada balasan. Jam di HP-nya sudah menunjukan pukul 23.09. Matanya tiba-tiba jatuh pada kalender diatas meja belajarnya. ”5 juli, besok deadline” katanya dalam hati.

***

Malam itu, setelah pekerjaan tuntas langsung ia bergegas memacu sepeda motor menemui gadis pujaannya. Bulan kala itu masih malu-malu. Kadang ia bersembunyi dibalik awan yang mamang sedikit mendung. Ia melirik jam di HP-nya. “pas, jam sembilan” katanya dalam hati. Lima menit kemudian ia sampai di depan sebuah rumah yang terlihat tua. Ia mengetik pesan singkat.

Aku sudah di depan

Pesan terkirim.
Tak lama kemudian seorang gadis muncul dari balik pintu dengan muka ngantuk.

“masuk” katanya.

”udah tidur?” timpal si lelaki.

“hm,..he....” gadis itu nyengir saja. “tunggu” sambungnya.

Lelaki itu duduk dikursi diteras rumah itu. Tak lama kemudian gadis itu keluar dengan menggunakan jaketnya, lalu duduk disamping lelaki itu.

”hih kamu itu, jam segini baru datang” kata gadis itu.

”he,... ayo berangkat” jawab si lelaki.

”ntar dulu,masih belum sadar bener ini” kata si gadis sambil menguap.

”cuci muka dulu sana”

”udah,...”

Si lelaki menjulurkan tangannya lalu mengusap muka si gadis dari dahi hingga dagunya perlahan.

”hu, dasar” kata lelaki itu.

”tunggu sebentar lagi”

”Ya”

”lihat, ntar lagi muncul bulan dari balik gedung itu” kata si gadis. ”biasanya, kalau aku pulang kerja, bulannya baru muncul dari balik gedung itu,” sambungnnya.
Perlahan bulan muncul dari balik gedung didepean rumah itu seperti yang dikatakan si gadis. Si gadis melihat bulan itu. Si lelaki melihat wajah gadis itu yang masih mengantuk.

”iya, aku melihat bulan itu” kata si lelaki terus memandangi wajah gadis itu.

***

Dasar pecundang, beraninya sembunyi dibalik orang lain. Pengecut kamu! Penjilat! Aku akan perkarakan ini kalau kamu nggak peduli!

Pesan singkat itu baru saja dikirim. Lelaki itu diam. Otaknya berpikir keras. Perasaannya tak menentu. Ia membalas pesan itu.

Tenang saja, aku bakalan tanggung jawab dan ngaku. Baguslah kalau kamu tahu ada yang salah. Gak usah takut, besok aku akan menghadap. Kamu berani menghadap? Satu lagi, aku bukan penjilat!

Pesan di kirim. Tak lama kemudian sebuah pesan balasan masuk.

Memang pengecut kamu, kamu takut sendirikan. Penjilat! Beraninya sembunyi dibalik orang lain.

Lelaki itu Cuma bisa diam. Jantungnya berdegup kencang. Mukanya memerah. “stres bebas,....!” teriaknya sembari memukul pintu.

***
LELAKI itu kembali melirik HP-nya. Tak ada juga balasan. Di remasnya kertas ditangannya itu.

***

Ia melihat gadis itu duduk bersama seorang temannya. Gadis itu mengenakan jaket berwarna putih dengan lengan berwarna kuning. Di lengan kiri gadis itu tersumat pita merah tanda bagi mahasiswa yang mempunyai penyakit seperti asma, jatung dkk. Sama seperti yang lain, wajahnya terlihat polos dan penuh semangat.

Gadis itu melihat lelaki itu. Ia menggunakan kaos putih berkrah hitam, dengan celana panjang hitam dan tas kain putih menyelang dipundaknya. Ia duduk sendiri, diam sementara yang lainnya berbicara dan asik berbincang-bincang. Ia tampak sulit untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru disekitarnya. Ia hanya memainkan pena dan kertas yang ada ditangannya.

”hei, namaku Nara” kata si lelaki sambil mengulurkan tangannya pada gadis itu.

***

GADIS itu sudah tertidur pulas. Wajahnya begitu tenang. Sesekali mulutnya bergerak-gerak seperti bayi yang sedang menyusu. Rambutnya tergerai begitu saja.

Lelaki itu masih duduk diatas ranjangnya. Ia bepikir tentang semua kejadian itu. “aku takut harus menyebutmu Masa Lalu, tapi pasti ada saatnya dimana aku terpaksa menyebutmu Masa Lalu” katanya dalam hati. Ia letakkan novel yang dibacanya, lalu ia merapikan kertas tadi, memasukkannya dalam tas dan menutup tas itu. Ia pun tidur.

Readmore »»

Monday, July 28, 2008

Bulan

Kira-kira dua minggu yang lalu aku pergi berenang. Hal yang sudah lama tak ku lakukan. Kali ini aku tak akan cerita tentang cewek-cewek seksi dikolam renang. Tidak juga bercerita tentang kebodohan Yandri yang berenang dengan celana sobek atau juga Panjul yang melirik cewek terus atau juga Adit yang takut kedalaman.

Kali ini aku akan bercerita tentang bulan. Kalau Seno Gumira punya “Rembulan di Mocacino” maka aku punya bulan dikolam renang. Baca saja!

Badan ku sudah mulai kedinginan. Malam sudah mulai menyelimuti langit. Angin malam menusuk kulitku. Nyeri rasanya tulangku.

Daripada semakin kedinginan ku putuskan untuk berenang lagi. aku berenang dengan muka menghadap kelangit. Telingaku tenggelam diair. Hanya mukaku saja yang tampak dipermukaan.

Kakiku terus bergerak supaya tidak tengelam. Sesekali tanganku ikut ku gerakan. Perlahan tubuhku meluncur ketengah kolam. Mataku hanya tertuju pada langit yang sepi tanpa bintang.

Semua suara bising hilang. Hanya bunyi gerakan kakiku yang beradu dengan air saja yang terdengar. Begitu tenang rasanya. Seperti sedang berada didalam ruangan yang nyaman dengan beralun lagu simponinya Bethoven atau ariosonya Bach.

Perlahan kulihat bulan yang perlahan muncul dari balik gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan. Terlintas dibenakku sebuah pertanyaan. Kenapa bulan bisa begitu menarik. Padahal dia tidak punya apa-apa.

Aku menjadi benci dengan bulan. Begitu munafiknya dia. Ia hanya memperindah diri dengan sinar yang ia serap dari matahari. Bahkan ia tidak memberi kehidupan seperti bumi yang menghidupi manusia.

Sangat tidak penting, menurutku. Apalagi ia memamerkan dirinya itu diatas kolam renang ini. Sangat menggangu pemandangan saja. Tapi memang harus diakui, bulan itu menarik.

Aku berpikir “jangan-jangan bulan ini jatuh cinta pada bumi. Sehingga tiap malam ia mati-matian berdandan dengan cahaya dari matahari untuk memberi sedikit cahaya ketika bumi gelap. Tapi memang wajar jika bulan itu tertarik pada bumi. Bumi memiliki daya tarik tersendiri. Ia gagah.”

Aku jadi teringat satu puisinya Chairil Anwar. “Malam di Pegunungan” judulnya.


Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!


Aku jadi berpikir, bahwa dingin malam ini memang yang bikin dingin. Karena air memberi ketenangan bukan dingin. Dan angin memberi kesegaran bukan dingin.

“ah, peduli setan, meski bulan yang membikin dingin, yang pasti aku menikmatinya.”

Ingatanku terangsang : Lonceng Gereja - Klitren Lor - Aceh - Karang Malang - Selokan Mataram - Samirono - Kuningan - Perumahan - The Hock - Simpang Chandra - Talang Banjar - Sri Agung - Metro - Code.

Akhirnya ku nikmati saja bulan itu. Telingaku serasa tuli.

Tenang sekali rasanya berada di air dengan setengah tubuh tenggelam hanya muka yang tampak dan bulan memberi keindahan tersendiri di mata. Kira-kira lima menit lamanya aku menikmati suasana itu. Menyenangkan sekali. Sesekali kalian wajib mencoba.

Dengarkan alunan air, rasakan belaian angin, perhatikan bulan itu. Ketiga hal itu seperti roti tawar yang sudah diisi dengan mesis, keju, mentega dan siap santap dipagi hari.

Sementara aku menikmati itu semua, Yandri masih bingung dengan celananya yang robeknya semakin besar, Panjul masih berusaha menggoda cewek yang sedang berenang, Adit menahan dingin sambil duduk dikursi.

Kali ini aku merasakan nikmatnya bulan dikolam renang. Benar-benar bulan. Bukan “bulan”. Silahkan coba.


Readmore »»

Sunday, July 20, 2008

Diam

“Sudah satu jam lebih aku menunggumu bicara. Tapi tak juga sepatah kata keluar dari mulutmu”, kata lelaki itu.

“apa sebenarnya maumu? Apa kau bisu?” lanjutnya.

Kali ini keadaan menjadi benar-benar diam. Tak ada yang bersuara kecuali burung hantu yang menguhu-uhu sepanjang malam. Ia menjadi bosan. Gelisah. Berkali-kali ia melirik pintu kamarnya seolah berharap pintu itu akan meledak dan suasana menjadi gaduh.

Lalu ia duduk diatas ranjangnya. Biasanya ranjang itu selalu berdecit ketika ada orang yang naik diatasnya. Tapi kali ini tidak. Ranjang itu seolah sudah bersepakat untuk diam.
Ia menjadi sangat geram. Kali ini dimantapkannya pandangannya pada pintu. “aku akan keluar dari sini jika masih kau tak juga bicara” katanya dalam hati.

Lima menit berlalu, tak ada juga suara yang terdengar. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Pintu dibuka. Cahaya remang lampu jalan diam-diam masuk lewat pintu itu. Dibiarkannya pintu itu terbuka lebar. Ia keluar.

Rambutnya yang berantakan semakin kacau diterpa angin. Tangannya menjadi dingin. Memang sekarang ini udara malam jauh lebih dingin dari malam sebelumnya. Sambil mengusap-usapkan kedua tanganya, ia terus berjalan.

Setelah beberapa blok ia lewati, ia memutuskan untuk duduk dibangku taman. Disore hari, taman itu selalu ramai. Anak-anak bermain sepakbola dan tertawa ketika ada yang terjatuh. Disebelah ada dua buah ayunan. Ayunan itu hanya bergoyang-goyang sedikit karena tiupan angin. Lagi-lagi bergoyang tanpa ada suara decit rantai ayunan yang sudah karatan.

Ia teringat masa kecilnya. Ketika itu ia selalu saja berisik dan membuat gaduh ketika keadaan tenang. Dari kecil ia benci keadaan yang sepi. Ia selalu ingin mendengar sesuatu dikedua telinganya. Dan malam ini kebencianya memuncak.

“Brengsek…!!!” ia berteriak kencang. Namun dalam hitungan sepersekian detik keadaan menjadi diam lagi. Ia berteriak lagi. Lalu diam lagi.

Dijambaknya rambutnya dengan kedua tangannya. Giginya bergemertak menahan kesal. Sesekali erangan kecil keluar lewat sela bibirnya. Malam semakin larut.

Tak terasa sudah sekitar satu jam ia duduk dikursi taman itu. Sudah berbagai macam pikiran yang melintas dibenaknya. Mulai dari ibunya, ayahnya, anjingnya, guru SD-nya hingga Tuhan.

Diliriknya jam tangan murahan yang dibelinya minggu kemarin. “sudah pukul empat pagi, sebaiknya aku pulang”, pikirnya.

Belum sempat ia berdiri, gerimis turun. Matanya tertuju pada butiran gerimis yang kelihatan berkilau dibawah cahaya kuning lampu jalan. Ia berdiri. Matanya masih tertuju pada kilauan gerimis dibawah lampu jalan.

Ia bertanya dalam hati “hei, kau gerimis, kenapa kau juga diam, ceritakan padaku bagaimana kau bisa muncul dengan tiba-tiba tanpa bersuara?”

Dalam hatinya ia berharap ada jawaban yang muncul. Ia menjadi kecewa karena memang tak ada jawaban. Lalu ia menghibur diri. “aku tahu kenapa kau diam, kau takut. Takut untuk berbicara. Takut untuk bercerita. Karena sesungguhnya kau anak haram hujan”, katanya dalam hati.

Rambutnya yang berantakan menjadi basah. Jaket coklatnya terlihat hitam karena basah. Hatinya semakin kesal karena gerimis tak menghiraukannya. Karena gerimis hanya diam mendengar caciannya.

“ah, sudahlah, lebih baik aku pulang. Dasar kau anak haram!”, umpatnya.

Ia kembali lagi berada dikamarnya. Pintu tetap dibiarkannya terbuka. Ia kembali duduk diranjang. Ia menunduk dalam-dalam. Dilihatnya kedua kakinya yang tampak pucat karena kedinginan. Tanpa berdiri, Ia melepas jaketnya. Lalu dilemparkannya kekursi kayu disebelah ranjangnya.

Tiba-tiba ia tersenyum. Seolah ia baru saja mendapat sebuah jawaban. Lalu ia berdiri. melangkah mendekati jendela. Dibukanya jendela itu. Dipejamkannya matanya perlahan. Ia mengerutkan dahinya seolah sedang berkonsentrasi.

Ia menelengkan kepalanya. Mendekatkan telinganya pada jendela. Ia mencoba untuk mendengarkan sesuatu. Namun tak ada yang terdengar olehnya selain burung hantu yang menguhu-uhu.

Dari jendela itu terlihat olehnya langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

“kau juga ternyata pengecut! Tak berani bersuara. Sama seperti gerimis”, ia mengumpati langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

Ia kembali duduk diranjang. Matanya dipejamkan, pendengarannya ditajamkan. Lalu ia tersenyum. “aku ingin mendengar suaramu. Kau caci saja aku, seperti aku telah mencaci gerimis, langit dan bulan”, katanya lirih.

Ia mendengar suara. “lelaki brengsek kau! Sedari tadi aku berbicara denganmu. Apa kau tak mendengar. Diamku adalah sebuah suara dan jawaban.”

Lelaki itu menangis. Menangis dalam diam.

Readmore »»

Monday, July 14, 2008

Give Me a Reason

: Teman-temanku, terutama kau.


Malam ini aku ingin mabuk. Sungguh ingin. Mabuk hingga terkapar. Tapi tampaknya ku sudah lebih dulu terkapar. Terkapar. Benar-benar terkapar. Tanpa bisa berulah lagi.

Bukan karena nilai-nilai busuk yang menghiasi KHS-ku. Itu bukan apa-apa. Tidak ada apa-apanya. Karena targetku semester ini sudah terpenuhi. Lulus ZIDS.

I'm so tired of playing,
Playing with this bow and arrow,
Gonna give my heart away,
Leave it to the other girls to play,
For I've been a temptress too long.

Dua tahun sudah berlalu sejak ku kenal kalian. Terutama kau. Semuanya sepertinya tak ada masalah. Kalaupun ada, selalu terselesaikan dengan damai. Hari ini aku tahu, kalian sangat perhatian. Perhatian sekali padaku. Terutama kau.
Aku tidak sedang menggombal sekarang ini. Atau juga sedang mencari perhatian. Tapi biarlah kali ini aku berterus terang.

Dua tahun yang lalu aku bukanlah siapa-siapa. Bahkan tak pernah terpikirkan bahwa aku adalah siapa-siapa. Kalian tahu benar. Ketika itu aku hanya seorang lelaki yang bertampang culun dengan IQ standar. Dan sekarang pun aku kira masih.

Ketika itu aku kalian terima dengan baik. Dikelas ataupun diluar kelas. Mungkin karena aku satu diantara dua kaum adam yang menghuni kelas sehingga kalian menerimaku (dengan terpaksa, hehehe).

Hmm just,
Give me a reason to love you,
Give me a reason to be,
A woman,
I just wanna be a woman.


Begitu nyata peran kalian, terutama kau dalam dua tahun ini. Sadar atau tidak kalian, terutama kau, membentukku menjadi seperti ini. Aku percaya itu. Kalian yang berperan penting selama dua tahun ini. Yah, okelah, pergaulan dengan para Ekspresianisme memberi dampak (+,-). Tapi tetap saja kalian yang berperan banyak. Setiap hari berkumpul dengan kalian dalam satu kelas.

Gila! Itu kata yang awalnya aku dengungkan ketika tahu bahwa ternyata akhirnya aku menjadi satu-satunya kaum adam dikelas (kalau desi masih cewek, hehehe).
Toh akhirnya tak bermasalah. Justru menguntungkan. Menguntungkan sekali. Terutama soal tugas dan segala tetek bengek-nya.

From this time, unchained,
We’re all looking at a different picture,
Through this new frame of mind,
A thousand flowers could bloom,
Move over, and give us some room.

Entah berapa kali aku terselamatkan oleh bantuan kalian. Baik yang sengaja atau tidak. Tugas kelompok yang selalu kalian kerjakan dengan baik, benar-benar menguntungkanku. Tentu kalian tahu alasannya.

Aku sudah sadari ini dari awal. Tapi, maaf, aku hanya mahasiswa yang ber IQ standard dan tentu tak berperasaan (kata beberapa teman).

Selalu saja nilaiku baik, padahal, tak ku kerjakan tugas-tugas. Kalaupun ku kerjakan. Kalian sumbernya (copy paste). Dan kalian (sebagian besar) selalu ada yang mendapat nilai dibawahku.

Yeah,
Give me a reason to love you,
Give me a reason to be
A woman,
I just want to be a woman.

Pagi itu sebuah tamparan melayang kepipi kananku. Pagi sekali. Sekitar pukul tujuh pagi, sebelum jam kuliah pertama dimulai. Aku tanpa sengaja menghilangkan tugas kuliah seorang teman yang dititipkan padaku.

Ketika itu bingung sekali rasanya. Mungkin itu yang dinamakan rasa bersalah (red-dosa).

Dipagi yang lain, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku kalang kabut. Aku belum buat tugas makalah pengganti ujian. Ya sebenarnya bukan belum buat, tapi sudah buat, hanya saja sedikit. Sedikit sekali.

Kuraih HP kapiranku, bergegas ku sms kalian. Tentunya minta bantuan. Bantuan kalian. Akhirnya cerita dapatlah aku copy paste-an dari Desi (You are my hero!).

Nilai hasil ujian pun keluar. Yah, tepat. Seperti ceritaku diatas. Aku mendapat nilai yang lebih baik dari kalian. Aku tak kan mempersalahkan dosen yang memberi nilai.

So don't you stop being a man,
Just take a little look from our side when you can,
Sow a little tenderness,
No matter if you cry.

Entah siapa saja yang sudah menanyakan nilaiku lewat SMS. Yang pasti ada beberapa. Wajar saja. Karena aku kira kalian sudah menjadi begitu muak (mungkin) denganku.

Muncullah rasa bersalah lagi.

Give me a reason to love you,
Give me a reason to be,
A woman,
It's all I wanna be is all woman.

Ok, itu sebuah cerita (lebih tepat pengakuan). Tapi bukan itu inti yang ingin kusampaikan.

Dengarkan lagu ini baik-baik.

For this is the beginning of forever and ever,
It's time to move over ,
So I want to be.

Kalian nyanyikan saja ini untukku. Terutama kau. Nyanyikan ini untukku.

Hehehe, sangat menyedihkan sekali bukan aku.

I'm so tired of playing,
Playing with this bow and arrow,
Gonna give my heart away,
Leave it to the other girls to play.
For I've been a temptress too long.

Kalian benar-benar teman yang baik. Sangat baik. Terutama kau.

Hmm just,
Give me a reason to love you

Aku ingin mabuk. Mabuk untuk semua kebaikan kalian. Thanks.

NB : Kau benar. Tapi tak sepenuhnya benar. Mungkin ini lagu cocok untuk kau nyanyikan untukku. I have no reason.

Readmore »»

Wednesday, July 9, 2008

Kuburan!


Turut berduka cita karena dibunuhnya Pejalanjauh.com oleh pemiliknya. “bunuh diri maya” istilah pemiliknya.
hahahaha!!!

Pesan terakhir : Thanks, Aku banyak belajar darimu.

Readmore »»

Friday, June 27, 2008

Demonstrasi

"sengaja saya buat untuk mengenang Maftuh Fauzi, mahasiswa UNAS yang meninggal karena berjuang untuk rakyat.
:selamat jalan, kami akan terus berjuang!!!"


“SBY SBY, dimana otakmu
Engkau tidak tahu, yang mana rakyatmu
Harga BBM, kau naik-naikkan
SBY SBY, ciptaan setan”

Nyanyian itu beralun bersamaan dengan langkah-langkah para
demostran.

Siang itu matahari begitu menyengat. Panasnya aspal
semakin membuat suasana menjadi panas. Mahasiswa dan polisi saling berhadapan. Mata mereka beradu. Badan mereka sudah tak terpisahkan lagi.

“kawan-kawan, ingat hari ini aksi kita adalah aksi damai” teriak sang korlap dengan megaphone mengacung.

Teriakan itu disambut dengan nyanyian dari masa.
“hati-hati, hati-hati, hati-hati provokasi”



Masa bernyanyi dengan semangat. Lalu diam kembali ketika orasi kembali dilancarkan.

Sementara orasi berlanjut, terjadi negosiasi antara demostran dengan pihak aparat.

“pak, kami hanya ingin masuk kedalam, kemudian menyampaikan tuntutan kami” kata sang negosiator.

“tidak bisa, kan disini juga bisa” jawab pak polisi yang bertubuh gemuk itu.

“saya tahu pak disini juga bisa. Tapi kan kita ingin bertemu langsung dengan bapak presiden” jelas sang negosiator.

“tetap tidak bisa” tegas pak polisi tadi.

Sang negosiator pun meninggalkan polisi itu. Ia berjalan kedepan masa aksi.

“teman-teman sekarang negosiator kita sudah ada disini, sekarang kita bisa mendengar langsung penjelasan.” Kata korlap yang satunya.

Negosiator itu mengambil megaphone dari korlap.

“teman-teman, bapak-bapak polisi tidak mengizinkan kita masuk untuk bertemu dengan presiden. Nah sekarang apakah kita harus menghentikan aksi kita sampai disini?” teriak negosiator.

“masuk!!! masuk!!! masuk!!! Masuk!!!” teriak masa aksi.

“oke, kalau memang mau masuk, pasang border!”

Selagi mahasiswa membuat border, polisi sudah bersiaga dengan segala peralatan anti huru-hara. Pentungan, helm dan tameng sudah siap sedia. Komandan polisi menginstruksikan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga.

“kalau ada yang macam-macam tarik langsung!” tegas komandan.

Polisi sudah berjalan mendekat, masa aksi pun maju. Kini badan mereka sudah bertabrakan. Aksi dorong-mendorong pun terjadi. Dorong-mendorong terjadi sekitar lima menit sebelum akhirnya para demostran terjatuh. Beberapa demostran yang terjatuh mendapat hadiah pentungan dari polisi. Ada pula demostran perempuan yang dipentung.
Demostran lari mundur. Polisi terus berusaha menarik beberapa demostran.

Setelah beberapa menit masa aksi sudah membentuk border kembali.

“polisi-polisi, dimana otakmu
Engkau tidak tahu yang mana rakyatmu
Mahasiswa aksi, kau pukul-pukuli
Polisi-polisi anti demokrasi”

Lagu itu bergaung membangkitkan semangat masa aksi.
Orasi kembali digelar.

“teman-teman, hari kita telah melihat sendiri bagaimana perilaku pemerintah kita. Ditengah krisis pangan yang melanda, harga BMM justru malah dinaikkan. Menurut kalian apakah kebijakan pemerintah ini memihak rakyat?” teriak korlap.

Masa aksi menjawab “tidak!!!”

“pak polisi, dari pada bapak mengahadang kami untuk masuk, lebih baik baik bapak bergabung dengan kami disini. Bersama-sama berjuang membela rakyat. Polisi kan juga bekerja untuk melayani rakyat bukan menyiksa rakyat. Apa bapak-bapak polisi tidak merasa kalau BBM naik, bapak juga akan bingungkan. Sementara biaya pendidikan semakin mahal, sembako juga mahal, BBM mahal. Kalau semuanya murahkan bapak juga senang. Maka ayo bergabung saja dengan kami, dari pada menjadi budak elite-elite politik busuk yang bersembunyi dibalik gedung ini.” Lanjutnya.

Bapak-bapak polisi hanya diam, sementara demonstran terus mengumandangkan yel-yel.

“sangat tidak logis kawan-kawan, Negara kita adalah Negara pengekspor minyak, tapi kenapa harga BBM didalam negeri menjadi naik. Hasilnya rakyat sengsara. Dengan alasan bahwa menyelamatkan APBN, pemerintah tega menlihat rakyat sengsara. Kita sepakat bahwa kebijakan kenaikan BBM ini adalah kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat…”

Aksi dorong-mendorong pun kembali terjadi. Lagi dan lagi, para demonstran kalang kabut menerima bogem-bogem mentah dari polisi.

Ditepi jalan banyak orang yang menonton aksi ini. Beberapa diantaranya bahkan mengambil foto sambil tertawa-tawa.

Blitz-blitz kamera bersambaran membuat pudar pandangan. Seorang demonstran berdiri dengan tegak mengibarkan bendera merah putih, lalu disambut lagu Indonesia raya.
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku…”

Readmore »»

Saturday, June 21, 2008

Rokok

Aku adalah rokok. Tak tahu mengapa orang menyebutku rokok. Tak ada filosofi yang jelas dari nama itu. Tentu kalian tahu keadaan fisikku. Berbentuk bangun tabung, biasa berwarna putih, hitam ataupun juga cokelat, terbuat dari tembakau dan beberapa ramuan lainnya. Orang menggunakan api untuk menikmatiku. Mereka menikmati kehancuranku menjadi abu.

Siang itu aku sudah terselip diantara jari-jari kecil. Seorang anak SD rupanya. Dibelakang gedung seklahan yang sudah tua. Plafonnya sudah hancur, tinggal menunggu dihinggapi kupu-kupu, rubuhlah itu pikirku. Diselipkan aku pada bibirnya yang masih merah. Diambilnya dari saku celana merahnya sebuah korek api. Dinyalakannya. Lalu terbakarlah aku. Asap pertama sudah mengepul dalam satu hisapan. Sempat dia terbatuk ketika mencoba mengeluarkan sisa pembakaranku dari hidungnya.

“sialan bener bu guru, Cuma gak buat PR aja disuruh keluar” keluhnya.

“awas aja nanti…!”lanjutnya terus ngomel.

Dihisapnya lagi aku. Dalam diam dia terus menghisapku walaupun tetap dia terbatuk-batuk ketika mengeluarkan asapku dari hidungnya. Aku tahu itu menyesakkan sekali ketika terbatuk karena asapku tertelan atau nyadet di hidung. Tapi dasar anak Bengal. Tetap saja diteruskan menghisapku.

Beberapa menit kemudian tubuhku sudah dilahap bara hingga tinggal setengah. Dia duduk menyandar pada dinding yang sudah kusam catnya. Terus saja mengomel. Terkejut aku ketika tiba-tiba satu tangan merampasku dari bocah tadi.

Ternyata bu guru yang mengusirnya dari ruang kelas karena tidak buat PR. Aku lihat anak itu mendadak jadi pucat.

“Tejo…! Kamu ini sudah tidak membuat PR, malah merokok disekolah lagi. Nakal benar kamu ini…!” bentah sang guru sambil njewer kuping bocah Bengal tadi.

“aduh…aduh…ampun bu” katanya merintih nyaris tak terdengar.

“ikut ibu kekantor” sergah sang guru itu sembari mematikan bara di ujung badanku.

Aku diletakkan diatas meja bertaplak batik. Diatas meja tertera pada papan nama SARIMANAH, Spd.

“jo…jo kamu itu kok buat masalah terus…”

Tejo hanya menunduk masih pucat.

“bosan ibu memarahi kamu, begini saja besok suruh orang tua mu menghadap ibu ya”

Tejo hanya mengangguk.

“ya sudah kamu pulang saja kerumahmu saja, tak usah ikut pelajaran hari ini.”

Tejo diam.

“Ingat orang tuamu besok harus menghadap ibu atau ibu sendiri yang akan kerumahmu” bu sarimanah mengakhiri celotehnya dan mempersilahkan tejo meninggalkan kantor guru.

Nasib malang pun menimpaku, tubuhku diremas hingga keluar semua tembakau dalam tubuhku oleh bu sarimanah, lalu membuangku ke got didepan kantor guru.

***

Pemuda berumur sekitar 25 tahunan memain-mainkan aku dijarinya tanpa menyalakan aku. Diputar-putarnya aku dijari-jarinya. Aku lihat wajahnya yang resah. Hanya menebak saja bahwa dia mengkuatirkan sesuatu. Kakinya yang dibungkus jeans hitam bergoyang-goyang seperti gemetar. Matanya melihat lantai putih bersih.

Beberapa lama baru aku sadar bahwa aku berada diruang tunggu rumah sakit ketika kulihat beberapa Suster mondar-mandir melewatiku. Kau tahu tentunya bau rumah sakit seperti bau obat.

Seorang Suster menghampiri kami. Di dada sebelah kanannya tertera namanya DEWI.

“mas kalau merokok jangan disini.” Tegur Suster itu.

Tanpa menjawab pemuda itu berdiri dan membawaku kepakiran. Duduk dia diatas motor yang diparkir. Diambilnya mancis dari saku jeans-nya, menyelipkan aku disela bibirnya lalu membakarku. Asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya.

Beberapa menit kemudian dia bangkit dari duduknya. Berjalan lagi hendak masuk rumah sakit. Masih dihisapnya aku sambil berjalan. Dia berhenti sejenak, dilihatnya ambulan yang baru saja berhenti didepan UGD. Ambulan itu dibuka. Tempat tidur besi yang biasa dipakai untuk pasien keluar dari ambulan. Disusul seorang perempuan berpakaian daster kembang-kembang, aku perkirakan ibu itu berusia 40 tahunan. Ibu itu menangis meraung-raung.

Aku dengar ibu itu menyebut sebuah nama disela tangisnya “Tejo”. Mungkin nama anaknya yang terbaring diranjang itu. Seorang lelaki berdiri disebelah ibu itu sambil memegangi bahu ibu itu.

Pemuda itu mengubah arah jalannya. Dia menuju ruang UGD. Diikutinya ibu-ibu yang tadi menagis meraung-raung. Sampai didepan pintu UGD, dibuangnya aku kedalam tong sampah. Lalu dia masuk ke ruang tunggu UGD. Kira-kira 30 menit dia keluar dari UGD bersama lelaki yang memegangi ibu tadi. Mulai diraihnya lagi aku dari bungkusku. Lalu menghisapku sambil berjalan keangkringan. Aku dengarkan baik-baik obrolannya dengan bapak itu tadi.

“kok bisa kejadian seperti itu pak?”

“saya juga nggak tahu mas apa masalahnya, sepulang sekolah Tejo itu Cuma diam gak mau makan. Sorenya habis mandi dia itu langsung kekamarnya. Lha saya nggak tahu kalau dia itu bawa baygon kekamarnya. Nah waktu diajak makan kira-kira jam setengah delapan, Tejo sudah terkapar dikamar, mulutnya berbusa. Saya itu nggak nyangka mas. Nggak tahu apa masalahnya. Salah opo tho Gusti kulo niki, anak mung siji-siji ne lha kok ngono nasib e“ keluh bapak itu.

“yang sabar saja pak“ hibur pemuda itu lalu menghisapku lagi.

“nak budi kenapa dirumah sakit, siapa yang sakit?”

“Bapak saya, kanker paru-paru.” Jawab pemuda itu.

Lelaki tua itu hanya menarik nafas. Diambilnya dari tas pinggangnya kotak pensil. Dibukanya kotak pensil itu. Tenyata berisi tembakau. Bahan utama penyusunku. Dilintingnya tembakau itu, lalu mulai menyalakan aku. Blub, sekejab saja aku sudah berasap.

***

Kamar itu lembab dan remang-remang, asapku mengepul seolah awan-awan mendung diluar. diasbak sudah berserakan sisa-sisaku. Tangan lembut gadis ini mengapitku dengan begitu santai, music dugem mengalun dari radio butut. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka.

“belum tidur honey?” perempuan berbaju suster membuka pembicaraan.

“belum, kok udah pulang?” balasan gadis itu.

“minta izin, capek aku.” Jawab perempuan itu sembari melepas pin nama dari bajunya.

“Dewi, aku mau pulang kejakarta.”

“Lia, tega kamu ninggalin aku?”

“Dew, aku harus pulang, ada masalah”

“Bukankah kamu selalu bermasalah?”Dewi mengambilku dari tangan lia. Lalu menghisapku perlahan.

“kamu benar.” Jawabnya singkat.

Dewi merebahkan badannya disamping lia, lalu mereka saling berpelukan.

“sebentar” kata dewi. Ia menaruhku diasbak tanpa mematikannya. Lalu mereka berciuman.

“baiklah, kamu boleh pulang, tapi harus kembali.” Kata dewi.

“baik, demi kamu.” Jawab lia.

Mereka berciuman lagi.

Sementara aku terbaring diasbak, bara api menggerogotiku terus sampai akhirnya mengecil dan mati.
Sampai sekarang aku masih tak mengerti alasan mereka menghisapku. yang jelas aku teman bagi mereka. Teman dalam sepi.

Readmore »»

Wednesday, June 11, 2008

Melihat dunia di balik punggung

Siang itu saya lihat hasil jepretan foto seorang teman. Diantaranya ada foto saya, sedang duduk ditepi sungai bersama dengan 2 teman. Foto itu tidak menampilkan muka kami, tapi punggung kami. Cahaya keemasan matahari yang dipantulkan air sungai membuat suasana foto itu menjadi sangat khimad.

Foto itu memang tak begitu bagus, tapi foto itu seolah menunjukan dunia lain dimata saya. Sisi lain dunia. Saya ingat beberapa kejadian yang baru terasa berarti ketika saya melihat foto ini.

Suatu ketika seorang teman perempuan mengatakan kepada kekasihnya yang hendak pergi “aku benci kau punggungi”. Muka teman saya itu tampak jadi lesu, tersirat kesedihan disenyumnya yang hambar. Sementara si laki-laki berjalan menuju halte bus, langkahnya yang semula mantap, menjadi ragu mendengar kata-kata si perempuan.

Saya hanya menerka-nerka apa yang dilihat oleh teman saya dibalik punggung sang kekasihnya. Sebuah dunia lain yang memisahkan mereka. Dunia yang hanya berisi air mata rindu. Seolah ada sekat pembatas antara dua dunia, dunia si perempuan dan dunia si laki-laki.

Si laki-laki berjalan menembus dunia lain yang tak bisa dijangkau oleh si perempuan. Perjalanan kedunia lain itu diiringi pandangan tak ikhlas si perempuan. Singkat kata saya iongin menjelaskan ada dunia kesedihan dibalik punggung si laki-laki. Kesedihan yang dirasakan oleh si perempuan dan juga si laki-laki. Dan mereka berjalan sendiri-sendiri didalam dunia yang sama, dunia kesedihan.

Saya ingat ketika saya hendak berangkat ke Yogya untuk kuliah. Saya diantar bapak ke loket bus dan kerena sudah waktunya bus jalan, saya langsung naik ke dalam bus. Sementara bapak memandangi saya. Yang terlihat tentu hanya ransel merah besar yang saya panggul.

Lagi-lagi saya menerka-nerka, bapak melihat dunia lain. Dunia yang siap menanti anak keduanya ini untuk bertarung didalamnya. Bertarung dengan dunia baru yang akan menentukan masa depan anaknya. Bapak melihat cita-cita anaknya untuk menjadi seorang sukses yang panggul dipunggung siap untuk diraih.
Ya, bapak melihat itu. Saya yakin.

Suatu malam di Tnong, tempat ngopi baru, saya duduk berhadap-hadapan dengan perempuan pujaan. Malam itu terlewatkan dengan penuh tawa. Ada moment dimana mata kami saling beradu, seolah mencoba saling membaca pikiran. Cukup lama kami beradu pandang. Yang kuingat saat itu cuma mata jernihnya yang seolah mengajak untuk berdansa dengan diiringi lagu-lagu cinta.

Selepas itu ku antar dia pulang. Didepan gerbang kosnya, kami masih saling diam. Ia turun dari motor, membuka gerbang.
“udah pulang sana” ucapnya memecah keheningan.
Aku hanya mengagguk.
Ia menutup gerbang lalu berjalan menuju pintu ruang tamu. Aku masih memperhatikannya. Ia membuka pintu lalu masuk. Aku masih diam. Ia melambaikan tangan. Kubalas dengan senyum tak jelas. Pintu tertutup. Aku melaju pulang.
Sampai dirumah, ku terima sebuah SMS dari dia.
“aku bimbang…”

Siang setelah malam itu, kami duduk berhadap-hadapan lagi disebuah tempat makan. Hanya kami berdua saat itu. Aku mulai sadar, walaupun berhadap-hadapan, aku hanya melihat punggung. Tiba-tiba ia menjadi dingin.

Tak ada yang istemewa lagi siang itu. Malam yang dingin waktu itu bisa menjadi begitu hangat, tapi siang yang panas ini menjadi begitu dingin.

Setelah siang itu semuanya berubah. Tak ada lagi mata jernih yang mengajak untuk tertawa dan berdansa. Yang kulihat hanya sebuah punggung. Dia berjalan menjauh tanpa meninggalkan senyum atau lambaian tangan. Cuma sebuah punggung, punggung yang dingin.

Kulihat sebuah dunia baru dipunggung itu. Dunia yang sepi, yang siap menerkamku. Lamat-lamat pandanganku menjadi kabur, dunia baru itu semakin mendekat. Diam adalah jalan yang terbaik saat itu, menurutku.

Readmore »»

Wednesday, April 30, 2008

Happy Birthday!!!

hi, Kresna
I'm Meg from Japan.
How are you doing?
I'm really missing you and always thinking about the time I had in Indonesia. I really want to go back to Indonesia and see you and the children in the village again.

I really had a good time with you but I'm sorry because I couldn't talk with you so much. I wish I could speak English well and have enough time to talk with. but I got a little nervous in front of you, so I couldn't.
sorry for that, Kresna.
And I wrote a note to you on the last day but I couldn't give it to you because I might have started crying. ( I was always crying on the last 2 days though) but as I already said to you, your smile made me so happy and I also enjoyed your guitar and singing.


thank you so much for having a great time with us.
Keep smiling!

ini email pertama yang dikirim seorang teman di jepang setelah ia beranjak dari indonesia, megumi sato. sengaja ku posting karena tanggal 21 april yang lalu dia merayakan hari jadinya yang ke 21. meskipun terlambat, tapi ikhlas ku ucapkan "Happy birthday".

so meg, sorry i know its too late, but i just want to say happy birthday to you!

Readmore »»

Saturday, March 8, 2008

Jawaban Alina

Sukab yang malang,

Senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap seperti ketika engkau memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak yang memecah pantai. Ada juga kepak burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelaman, sementara di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi matahari yang sedang terbenam. Aku pun tahu Sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. Kita sama-sama tahu, keindahan senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam dengan kejam. Manusia memburu senja kemana-mana, tapi dunia ini fana Sukab, seperti senja. Kehidupan mungkin saja memancara gilang-gemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. Waktu mengubah segalanya tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai. Hitam, sunyi dan kelam.

Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir. Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga engkau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak mungkin diharapkan manusia.


Senja ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang pos yang jahil itu rupanya penasaran dengan cahaya merah kemas-emasan yang memancara dari amplop itu Sukab. Cahaya itu telah mengganggunya semenjak ia menggenjot sepeda dari kantor pos, berkilau-kilau dan memancar di tas surat yang tergantung di boncengan sepeda, begitu rupa sehingga cuaca siang hari menjadi kacau, angin menderu dan ombak terdengar menghempas-hempas, meskipun ia bersepeda mendaki bukit kapur. Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari dalam tas itu terdengar suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat amplop Federal Express yang sudah tidak putih lagi melainkan merah keemas-emasan Sukab, seperti senja dengan matahari terbenam di balik cakrawala. Tukang pos itu mengambil amplop tersebut, menimang-nimangnya, agak berat juga. Maklumlah bukankah amplop itu berisi senja Sukab? Senja dengan matahari merah membara yang turun perlahan-lahan di balik cakrawala, seperti semua senja yanga ada di balik kartu pos, tapi yang kamu kirim itu bukan kartu pos Sukab, yang kau kirim itu senja di tepi pantai dengan hempasan ombak, bau laut dan angina yang asin. Kamu pikir berapa ton beratnya pasir di sepanjang pantai itu Sukab? Kira-kira sedikit dong! Masih lumayan tukang pos itu kuat menggenjot sepedanya mendaki bukit kapur. Busyet. Kalo anak-anak kecil tahu ada matahari terbenam di dalam amplop itu lantas bagaimana? Kau tahulah sukab, anak-anak di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang aneh-aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, ikan dan belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang meraka sentuh. Anak-anak yang tidak pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya didadanya berkedip-kedip pasti akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar berkilauan., berkilauan merah dan keemas-emasan itu Sukab.

Mereka tidak pernah melihatnya Sukab, karena tukang pos itulah yang telah mendahului meraka. Ia menimang-nimang bungkusan berisi senja itu, mendengar-dengarkan, dan akhirnya mengintip. Tentu saja didalam amplop itu dilihatnya senja Sukab. Senja terindah yang paling mungkin berlangsung di muka bumi. Ia mengintip dan terpesona. Ia buka amplop itu. Sebetulnya menurut kode etik profesi itu tidak boleh. Tapi manusia manapun bisa melakukan kesalahan bukan? Ia buka terus amplop itu, dan melihat senja dengan langit merah kemas-emasan didalam sana, dan melihat mega-mega berpencar seperti perahu di danau, memebrikan perasaan nyaman dan tenang. Siapa yang tidak suka merasa nyaman dan tenang di dunia Sukab, di sebuah dunia yang miskin masih bersimbah darah pula? Maka jangan salahkan tukang pos itu Sukab, jika ia kemudian menjadi begitu penasaran dan memasuki senja yang terbentang. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu(1). Ketika anak-anak akhirnya berkerumun di sekita sepeda yang tergeletak itu, mereka hanya melihat cahaya senja yang kemerah-merahan yang semburat membakar langit. Amplop itu hanya bocor sedikit, tapi akiatnya sudah begitu rupa. Ini semua gara-gara kamu Sukab.

Sukab yang malang, bodoh dan tidak pakai otak,

Sepuluh tahun lamanya tukang pos itu mengembara didalam amplop, kita tidak pernah tahu apa yang diklakukanya disana. Apakah dia kawin, beranak pinak, dan berbahagia? Atau selama itu dia hanya duduk saja memandang matahari terbenam dengan perasaan kehilangan, sementara langit yang tadinya merah keemas-emasan perlahan-lahan menggelap kebiru-biruan – aku juga tidak tahu bagaimana caranya menikmati senja di dalam amplop Sukab, sebuah ruang yang sungguh-sungguh terdiri dari waktu. Apakah waktu bisa diulang atau bagaimana, aku belum pernah memasuki senja di dalam amplop. Atau, apakah didunia ini sebetulnya seperti didalam amplop ya Sukab, dimana kita tidak tahu apa yang berada di luar diri kita, dimana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, “Ah, kasihan betul manusia.” Apakah begitu Sukab, kamu yang suka berkhayal barangkali tahu. Tapi aku tidak mau khayalan, aku tidak mau kira-kira, meskipun usaha kira-kira itu begitu canggihnya sehingga disebut ilmiah, aku mau tahu yang sebenarnya. Apakah ada yang menyaksikan kita sambil tertawa-tawa? Kalau iya, apalah artinya hidup kita ini sukab? Tidakkkah nasib manusia memang seperti ikan, yang diternakkan hanya unutk mengisi akuarium diruang tamu seseorang yang barangkali juga tidak teralalu peduli kepada makna kehidupan ikan-ikan itu?

Aku tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dialami tukang pos itu didalam amplop, sampai ia keluar sepuluh tahun kemudian dengan wajah bahagia. Ia sudah sepuluh tahun menghilang didalam amplop, tapi ia tidak tampak betambah tua. Apakah waktu di dalam amplop tidak bergerak? Tepatnya apakah senja didalam amplop tidak berhubungan dengan waktu? Apakah tidak ada waktu di dalam amplop Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus peduli dengan semua ini sukab, apakah aku harus peduli? Kamu betul betul merepotkan aku Sukab, dasar lelaki tidak tahu diri.

Sukab yang malang, goblok dan menyebalkan,

Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu tiba di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak yang terjadi dong Sukab, misalnya bahwa kemudian aku kawin, beranak pinak dan berbahagia. Jangan kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintai kamu Sukab. Dasar bego dikasih isyarat tidak mau mendengarkan. Sekali lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau toh aku kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus ku katakana sekarang, sebetulnya aku cuma kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong sedikit, hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu. Tapi bukan cinta taik kucing ini yang sebetulnya ingin ku ceritakan padamu Sukab. Soal cinta ini sama sekali tidak penting.

Kamu harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Sukab, mengirim sepotong senja untuk orang yang sama sekali tidak mencintai kamu. Tahu apa akibatnya? Begitu tukang pos itu pulang, setelah menceritakan kenapa kiriman Federal Express bisa terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop berisi senja itu, dan terjadilah semua ini. Apa kamu tidak tahu Sukab, senja itu meski cuma sepotong, sebetulnya juga semesta yang utuh? Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti apa? Seperti apem? Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus sih tidak apa-apa, tapi ini keluar dan lautnya membludag tak tertahankan lagi. Bagaimana aku tahu amplop itu berisi senja Sukab? Aku bukan pengkhayal seperti kamu. Hidupku penuh dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung rugi setiap perbuatan, terutama apa untung ruginya untuk diriku sendiri. Betapa pentingnya hidupku selamat, demi suamiku dan anak-anakku. Pura-puranya aku ini juga perempuan yang setia. Itu pula sebabnya, sebelum maupun sesudah kawin aku tidak sudi berhubungan dengan kamu Sukab. Lagi pula aku tidak mencintai kamu. Mau apa? Tapi kamulah yang tidak tahu diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini jadi berantakan tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira.

Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang terbenam dari senja dalam amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah ada(2). Langit yang biru bercampur aduk dengan langit yang kemerah-merahan yang terus menerus berkeredap menyilaukan karena cahaya keemas-emasan yang menjadi semburat tak beraturan. Senja yang seperti potongan kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Sukab, bagaimana orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak datang dari pantai tapi dari atas bukit?
Air bah membanjiri bumi seperti jaman Nabi Nuh. Dunia menjadi gempar, tidak semua perahu yang ada cukup untuk seluruh umat manusia kan? Lagipula sampai kapan kapal dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu kota pun yang selamat, lautan dari senjamu yang membuat langit merah membara itu menghempas dan membanjiri bumi dengan cepat sekali. Gedung-gedung pencakar langit di setiap kota besar di seluruh dunia, gunung-gunung tertinggi di muka bumi, semuanya terendam air. Sukab, bumi ini sekarang sudah terendam air. Dimana-mana air dan langit senja tak kunjung berubah menjadi malam. Segalanya kacau Sukab, gara-gara cintamu yang tak tahu diri.

Sukab yang malang, paling malang, dan akan selalu malang,

Aku menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di dunia, di atas puncak himalaya. Di depanku ada senuah sampan kecil dengan sepasang dayung dan sebungkus supermi. Itulah makanan terakhir di muka bumi. Sisa manusia yang menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu telah mati semua, karena kehabisan bahan makanan maupun mayat teman-temannya sendiri. Manusia memang banyak akal, tapi menghadapi senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan keluar. Banyak orang mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat dirimu begitu cinta menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun juga tidak, sehingga kamu mengirimkan sepotong senja itu kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri bumi. Tapi coba katakan, tapi itu bukan salahku toh Sukab? Aku tidak mau disalahkan atas bencana yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta harus menjadi begitu penting sehingga kehidupan terganggu? Ini bukan salahku.

Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat aku menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu, mendayung sampai teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut. Akan ku kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah mati Sukab. Semua pengembara di lautan sudah mati. Sedangkan di puncak tertinggi di dunia ini tinggal aku sendiri, dari hari kehari memandang senja yang selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam benturan dua semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma sepotong senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku mati nanti, bumi ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan matahari terbenam separuh yang tidak pernah turun lagi. Langit merah selama-lamanya, lautan jingga selama-lamanya, tetapi tiada seorang manusia pun memandangnya. Segenap burung sudah punah karena kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal ikan-ikan menjadi penguasa bumi. Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan sedih.

Sukab,

Aku akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu kertas, dan ku layarkan ke laut lepas. Bukan tidak mungkin surat ini akan terbaca juga, entah bagaimana caranya, namun siapa pun yang menemukannya akan membaca kesaksianku. Jika tidak, aku pun tidak tahu apa nasib waktu(3). kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini. Betapa semua ini terjadi karena cinta, dan hanya karena cinta – betapa besar bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seperti menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.

Selamat berpisah semuanya. Selamat tinggal.


Alina

Readmore »»

Tuesday, February 19, 2008

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Kemarin siang aku baru membaca cerpen karya Seno Gumiro ini, entah kenapa aku ingin mem-posting-nya disini. Ya, sebenarnya ini ku posting untuk seseorang. “Aku tahu kau tak suka membaca, tapi entah kenapa juga aku memposting cerpen ini untuk mu, terimalah potongan senja ini”

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.


Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.

Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.(Seno Gumiro)

Readmore »»

Wednesday, January 9, 2008

Kesepian luka dan cinta

Kita sudah menjadi dewasa

Tanpa kita sadari detik telah menidurkan kita dalam satu ranjang

Lalu membiarkan kita bersenggama dengan liar,
Bersenggama dengan kesepian,

Seperti laut yang menjadi sunyi namun diam-diam meludahi pantai dengan riaknya

Belum lagi angin sempat menyampaikan bisik heningnya, kita sudah terkapar

Ini raga tak lagi merasa dan sukma telah lalu dengan air mata

Adakah kicau camar akan membagunkan tidur karang-karang terjam?

Supaya kita bisa membedakan mana yang disebut luka, mana yang disebut cinta

Desember 2007

Readmore »»