Sunday, December 25, 2011

Natal yang Terlambat

Sore yang redup itu, aku mengendap-endap menyusup masuk gereja lewat pintu belakang. Pintu belakang gereja ini langsung menuju kantor pendeta yang hanya dibatasi dinding sekat dengan ruang rapat majelis. Banyak orang tak mengira bahwa pintu belakang gereja yang sudah kelihatan berkarat pada engselnya masih berfungsi. Hanya beberapa warga jemaat dan majelis saja yang tahu. Padahal beberapa pendeta banyak yang menggunakan pintu ini untuk pulang lebih dahulu seusai mengumandangkan firman.

Ketika aku masuk, ku dengar para majelis dan beberapa pendeta senior sedang berdebat serius sampai-sampai tak menyadari kehadiranku. Sementara itu diluar sana, warga jemaat berkerumun didepan gereja menunggu kepastian dari gereja tentang natal. Beberapa hari lalu berhembus kabar didunia maya dan berbagai media bahwa natal akan datang terlambat. Entah siapa yang menyebarkan berita ini dan apa motifnya tak ada yang tahu atau tepatnya tak ada yang peduli.

Aku begitu kagum dengan kemajuan teknologi sekarang. Sungguh hebat betul. Hanya dengan menekan tombol-tombol pada keyboard lalu tekan ENTER semua rahasia didunia ini tersingkap dengan kebenaran 100%. Jadi wajar saja berita yang muncul di jagad maya tentang terlambatnya natal itu membikin gusar jemaat. Terutama ibu-ibu dan anak-anak.

Dari balik tirai-tirai aula ibadah aku mengintip suasana diluar. Orang-orang makin ramai. Beberapa dari mereka ada yang membawa kertas karton yang dicoreti macam tulisan. Salah satunya bertulisan, “Kami mau natal secepatnya!”

“Sudah gila semua orang-orang ini,” pikirku.

Aku heran apa yang sebenarnya tujuan mereka berkumpul didepan gereja, demonstrasi menuntut natal tepat waktu atau hanya mau menunggu pengumuman kepastian natal? Setahuku hari ini memang gereja lewat pendeta senior berjanji akan mengumumkan kepastian natal. Tapi haruskan macam ini cara menunggu sebuah pengumuman?
Didepan gerbang gereja kulihat seorang pria tambun yang berdiri disana sambil menggoncang-goncang pintu gerbang dan berteriak-teriak tak jelas. Karena panik melihat tindakan pria tambun itu yang nyaris merobohkan gerbang, aku bergegas kembali ke ruang majelis.

“Maaf bapak-bapak, warga jemaat tampaknya sudah tak sabar, mereka hendak merobohkan gerbang,” kataku memotong diskusi mereka.
“Kau siapa?” tanya seorang pendeta senior terkejut.
“Pa, ini aku,” jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“Oh iya, maaf nak, aku lupa, maklum sudah pikun,” ia mengusap-usap jidatnya lalu berpaling ke sekelompok majelis yang masih berdebat “Jadi bagaimana? Apa kita sepakat natal datang terlambat?” tanya pendeta senior itu pada yang lain.

Tak ada yang berkata-kata.

“Jadi gimana?” tanya pendeta senior lainnya.
Seorang majelis menjawab, “Menurut hemat saya, ada baiknya jika kita berdoa bersama-sama lagi meminta petunjuk Allah.”

Karena tak ada ide lain, mereka akhirnya melaksanakan ide itu. Dipimpinlah doa itu oleh pendeta muda yang terkenal progresif dalam hal doa. Pendeta muda ini sangat mahir untuk memainkan kata-kata doa yang membuat orang merasa terharu sekaligus khusyuk seolah mereka benar-benar sedang berlutut dihadapan Allah.

Mereka semua berdoa kecuali seorang majelis sudah sepuh. Ia mengeluarkan Ipad dan mengerak-gerakan jarinya dilayar Ipad. Entah apa yang dilakukan. Setelah beberapa menit, ketika yang lain baru membuka matanya setelah berdoa, majelis sepuh itu langsung menyeletuk.

“Benar!” ia memandangi satu persatu orang yang ada disitu kecuali aku, “natal akan datang terlambat. Aku dapat merasakannya!”
Beberapa majelis terperangah mendengar kata-kata mejelis sepuh itu.
“Hei kau,” majelis tua itu menunjukan jarinya padaku, “periksa kondisi diluar sana!”

Tanpa banyak berpikir aku langsung bergerak ke aula ibadah melihat kondisi diluar. Ku lihat mereka sudah berhasil menerobos pintu gerbang. Kini mereka hanya berdiri beberapa meter dari pintu utama gereja.

Setelah sekitar lima menit, seorang pendeta yang lain paling senior, berjalan kearah pintu disusul ayahku, seorang pendeta senior satu lagi dan pendeta muda. Pendeta muda itu mendahului yang lain sampai ke pintu, lalu begitu yang sudah semakin dekat dengan pintu, ia membuka kunci pintu.

“Kau, sini! Bantu aku membuka pintu,” perintah pendeta muda itu padaku.

Aku mengangguk dan merapat ke pintu besar dan berat itu. Dengan tinggi pintu enam meter dan lebarnya empat meter serta beratnya yang mungkin lebih dari 100 kilo ditambah lagi engsel pintu yang sudah seret bukanlah perkara mudah membukanya.

Pendeta muda itu memberiku aba-aba untuk membuka pintu secara bersamaan.

“satu, dua, tiga, tarik!”

Aku menarik daun pintu sebelah kiri, dan dia yang sebelah kanan, dan pintu pun terbuka. Secepat kilat cahaya sore itu masuk kedalam gereja seolah menyambut pendeta-pendeta itu. Jubah-jubah putih pendeta-pendeta itu seperti bersinar karena cahaya sore itu. Sementara orang-orang yang yang mula riuh berteriak-teriak langsung menutup mulut mereka rapat-rapat.

Pendeta paling senior itu berjalan keluar pintu. Memandangi warga jemaat yang berkerumun itu. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas, tanpa isyarat apapun, warga jemaat itu berlutut ditempat mereka masing-masing.

“Saudara-saudariku yang ku kasihi, aku tau kegelisahan hati kalian semua karena akupun merasakan hal yang sama,” pendeta paling senior itu menghela nafas, “dengan penuh keprihatinan, aku kabarkan bahwa natal akan datang terlambat datang tiga hari.”

Kumpulan jemaat itu menjadi gaduh, mereka saling berbisik dengan jemaat lainnya yang berdekatan.

“Tenang saudara-saudara, tolong tenang,” teriak pendeta muda sembari maju mendekati jemaat. Jemaat berangsung-angsung menutup mulut mereka kembali.

“Untuk itu para jemaat diharapkan sabar menanti kehadiran natal. Dan saya harapkan setelah ini kalian semua bisa pulang kerumah kalian dengan tenang dan mengabarkan kepada yang lain. Namun sebelum kita pulang, marilah kita tundukkan kepala berdoa kepada Allah terlebih dahulu,” pendeta paling senior itu memberikan isyarat kepada pendeta muda itu untuk memimpin doa.

Pendeta muda itu pun mengambil tempat di sebelah kanan pendeta paling senior, dan mulai berdoa.

“Ya Tuhan, Allah kami yang baik,
sore yang kudus ini kami berkumpul disini,
dirumah-Mu yang mulia ini,
memanjatkan pujian dan syukur
atas segala limpahan berkat-Mu.
Ya Allah,
ini adalah pertama kalinya dalam pergumulan hidup kami,
kami harus diperhadapkan dengan terlambatnya natal-Mu yang kudus.
Ya Allah,
biarlah cobaan ini bisa kami terima dengan hati yang lapang,
Karena kami tau, engkau selalu memberikan yang terbaik untuk kami.
Dengarkanlah seruan kami ini ya Allah!
Biarlah kehendakmu saja yang nyata didunia ini
Amin!”

“Saudara-saudariku, pulanglah dengan tenang, biarlah damai sejahtera dari Allah selalu menyertai kehidupan kita. Syalom!” kata pendeta paling senior itu.
Aku pun langsung berjalan pulang dengan lesu, sesak dan penasaran bagaimana natal bisa terlambat. Sesampai dirumah ku beritahu ibu tentang keputusan gereja itu. Ibuku pun terkejut. Ia shock berat hingga nyaris jatuh pingsan. Aku lalu memapah ibu ke kamar, lalu ku tinggal kembali ke ruang tamu.

Ku pandangi pohon natal di sudut, begitu indah, lampu berkelap-kelip, salju-saljuan putih yang terbuat dari kapas, bola-bola yang berwarna-warni, boneka kecil santa, kombinasi yang sungguh menggambarkan natal. Saking kagumnya dengan pohon natal itu, tak kusadari rupanya ayah sudah meringsek di sofa.

“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin natal bisa terlambat?” aku langsung memberondong ayah dengan rasa penasaranku. Ia menghela nafas.

“Nak, kau tau, kebenaran adalah apa yang tertulis dengan format berita yang sahih, yang terlihat dilayar dan kita dengar lewat pembawa berita atau gosip. Sedangkan iman kita, tidaklah seutuh berita yang sahih, tidak semenarik layar, tak serenyah suara-suara itu,” ia menghela nafas lagi, lalu berdiri berjalan mendekati pohon natal, “meski begitu, natal tetaplah natal, perayaan sebuah kelahiran, pesta ulang tahun. Tak peduli ulang tahun yang ke 100 tahun atau pun sweet seventeen, tak peduli kapan akan dirayakan, sehari setelah itu, sehari sebelumnya, atau kapan saja terserah. Itu tak berarti apa-apa, toh bukan kita hanya penggembira dalam pesta yang besar ini,” lanjutnya.

Aku diam saja mendengar ayah bicara.

“Satu lagi nak, biarlah Yesus saja yang menentukan kapan ia akan merayakan ulang tahunnya, jika memang harus mundur tiga hari, biarlah itu pilihannya, dan semoga itu pilihan yang tepat,” kata ayah sembari berjalan ke kamarnya.

Klitrenlor, 25 Desember 2011

Readmore »»

Friday, April 29, 2011

Dehidrasi

Mulutku mendadak menjadi terasa kering. Kelenjar ludahku tak lagi memproduksi air liur untuk membasahi tenggorokan mulut dan bibir. Lidahku menjadi begitu keras dan kaku, serasa seperti ikan yang semula segar dijemur diterik matahari selama 3 hari, hingga menjadi kering, keras dan renyah setelah masuk penggorengan.

Kepalaku mulai pening, berat serasa dipukul dengan tongkat baseball tepat ditengkuk. Bulu kuduk merinding, tak ada keringat yang keluar dari pori-pori. Tanganku menjadi begitu kesat dan kasar. Aku sudah mencoba untuk membasahi tanganku dengan air kran, namun tak juga mengurangi kerutnya.

Gelas sudah ku pegang erat, menggedor pintu-pintu rumah untuk meminta air minum. Sayang hari telah larut malam, orang-orang tak peduli lagi dengan ketukan pintu. Apalagi besok adalah hari senin, pekerjaan telah menanti bagi semua orang yang bekerja, tumpukan tugas kuliah dan jadwal ujian yang padat sudah menanti para mahasiswa.

Toko diujung jalan kampung yang biasa buku hingga larut malam, sudah tutup. Aneh sekali, ini baru pukul 01.00 pagi, biasanya hingga pukul tiga pagi, ketika aku pulang lembur, toko itu masih buka.

Aku pasrah saja, biarlah terasa terus sakit ini hingga besok pagi. Lambung kananku mulai terasa nyeri. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Nyeri itu kemudian merambat ketengah perut dan sisi kiri.

Kulihat dua orang berjalan kearahku. Mereka warga yang ronda keliling.

“Mau apa mas malam-malam gini bawa gelas?”

“Haus pak, kehabisan air minum,” jawabku dengan kesulitan, karena lidah menjadi benar-benar sulit digerakkan.

“Ikut kami ke pos aja mas, ada minum,” bapak yang menggunakan sarung hijau kotak-kotak.

Tanpa pikir panjang aku mengikuti mereka ke pos ronda.

“Sini mas gelasnya,” kata yang satunya. Akupun memberikan gelas ditanganku.

“Kopinya masih hangat, tapi agak pahit mas, maklum gula mahal,” tukasnya sembari menuangkan kopi kedalam gelas.

“wah, air putih ndak ada pak?” sahutku.

“Ada mas, kalau air putih itu di ceret, langsung aja di glegek mas?” bapak itu menjawab sambil menunjuk ceret putih dipojok pos.

Aku mengamati ceret itu sebentar. “itu air mereknya ya pak?” tanyaku lagi.

“Air sumur biasa kok mas, direbus biasa,” jawab bapak yang satunya lagi, “kalau mau air kemasan, beli dijalan besar aja mas,” lanjutnya agak jengkel.

“Oh, ya sudah pak, makasih, saya tak ke depan saja,” tandasku agak sedikit rikuh.

Aku pun berjalan keluar gang. Diseberang jalan ada kios kecil. Aku langsung menyeberang jalan, menuju kios itu.

“Mas, mas, bangun, beli Akua?” kataku sambil mengetok-ketok toples permen. Penjual itu langsung bangun dan mengambil botol minuman.

“Dua ribu mas,”tukasnya sambil mengusap matanya.

Aku mengeluarkan uang dua ribu dari kantongku lalu memberikannya pada penjual itu. Ku ambil botol ditangannya.

“Lho mas, ini bukan Akua, saya maunya Akua je,” kataku dengan sedikit kaget ketika melihat merek air kemasan itu, “ini apa? Agua-gue? Merek apa ne?” lanjutku.

“Ah mas sama saja, sama-sama air,”jawab penjual itu sekenanya.

“Ya beda, ini nggak jadi aja,” sahutku sambil menaruh Agua-gue diatas toples permen.

“barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Ndak usah cari perkara ya, wis mbengi iki!” jawab penjual itu dengan nada menantang. Tak mau ambil pusing, ku tinggalkan saja, Agua-gue diatas toples dan uang dua ribuku ku ikhlaskan. “Lagian nggak lucu berkelahi sama penjaga kios gara-gara dua ribu,” kataku dalam hati.

“Kae lho neng pojokkan ono mini market su!” teriak pejual itu yang malah emosi ketika ku tinggalkan begitu saja. Karena takut penjual itu mengejar, aku pun lari sepanjang trotoar.

Badanku bertambah lemas. Tepat didepan mini market 24 jam, aku berhenti dan berdiri dengan nafas tersengal-sengal. Aku melongok kedalam mini market, lalu langsung berdiri gesit mendorong pintu, menuju kulkas berisi minum kemasan, menyambar merek akua, langsung membukanya, merapatkan mulut botol pada mulutku yang sudah kering, meneguknya dengan beringas.

Mengalirlah dalam tubuhku ini, air segar dari mata air dan air mata petani yang malam ini tidur sembari menahan lapar. Seteguk demi seteguk tenggorokanku mulai basah, segar, bibirku mulai kembali lembab, dahagaku hilang. Botol pertama telah habis, namun terasa belum puas.

Ku sabet satu botol lagi. Kali ini aku meneguknya dengan perlahan. Tiap tegukan ku nikmati air segar ini melewati tenggorokanku. Tegukan pertama, sawah-sawah petani kering. Tegukan kedua, petani air semakin miskin. Tegukan ketika, lereng gunung dan sumber mata air mulai rusak. Dan seterusnya. Pada tegukan terakhir, aku tubuh penuh dengan kembali segar, mereka, para petani dan masyarakat disekitar mata air semakin kering. Dehidrasi.

Readmore »»