Monday, July 28, 2008

Bulan

Kira-kira dua minggu yang lalu aku pergi berenang. Hal yang sudah lama tak ku lakukan. Kali ini aku tak akan cerita tentang cewek-cewek seksi dikolam renang. Tidak juga bercerita tentang kebodohan Yandri yang berenang dengan celana sobek atau juga Panjul yang melirik cewek terus atau juga Adit yang takut kedalaman.

Kali ini aku akan bercerita tentang bulan. Kalau Seno Gumira punya “Rembulan di Mocacino” maka aku punya bulan dikolam renang. Baca saja!

Badan ku sudah mulai kedinginan. Malam sudah mulai menyelimuti langit. Angin malam menusuk kulitku. Nyeri rasanya tulangku.

Daripada semakin kedinginan ku putuskan untuk berenang lagi. aku berenang dengan muka menghadap kelangit. Telingaku tenggelam diair. Hanya mukaku saja yang tampak dipermukaan.

Kakiku terus bergerak supaya tidak tengelam. Sesekali tanganku ikut ku gerakan. Perlahan tubuhku meluncur ketengah kolam. Mataku hanya tertuju pada langit yang sepi tanpa bintang.

Semua suara bising hilang. Hanya bunyi gerakan kakiku yang beradu dengan air saja yang terdengar. Begitu tenang rasanya. Seperti sedang berada didalam ruangan yang nyaman dengan beralun lagu simponinya Bethoven atau ariosonya Bach.

Perlahan kulihat bulan yang perlahan muncul dari balik gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan. Terlintas dibenakku sebuah pertanyaan. Kenapa bulan bisa begitu menarik. Padahal dia tidak punya apa-apa.

Aku menjadi benci dengan bulan. Begitu munafiknya dia. Ia hanya memperindah diri dengan sinar yang ia serap dari matahari. Bahkan ia tidak memberi kehidupan seperti bumi yang menghidupi manusia.

Sangat tidak penting, menurutku. Apalagi ia memamerkan dirinya itu diatas kolam renang ini. Sangat menggangu pemandangan saja. Tapi memang harus diakui, bulan itu menarik.

Aku berpikir “jangan-jangan bulan ini jatuh cinta pada bumi. Sehingga tiap malam ia mati-matian berdandan dengan cahaya dari matahari untuk memberi sedikit cahaya ketika bumi gelap. Tapi memang wajar jika bulan itu tertarik pada bumi. Bumi memiliki daya tarik tersendiri. Ia gagah.”

Aku jadi teringat satu puisinya Chairil Anwar. “Malam di Pegunungan” judulnya.


Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!


Aku jadi berpikir, bahwa dingin malam ini memang yang bikin dingin. Karena air memberi ketenangan bukan dingin. Dan angin memberi kesegaran bukan dingin.

“ah, peduli setan, meski bulan yang membikin dingin, yang pasti aku menikmatinya.”

Ingatanku terangsang : Lonceng Gereja - Klitren Lor - Aceh - Karang Malang - Selokan Mataram - Samirono - Kuningan - Perumahan - The Hock - Simpang Chandra - Talang Banjar - Sri Agung - Metro - Code.

Akhirnya ku nikmati saja bulan itu. Telingaku serasa tuli.

Tenang sekali rasanya berada di air dengan setengah tubuh tenggelam hanya muka yang tampak dan bulan memberi keindahan tersendiri di mata. Kira-kira lima menit lamanya aku menikmati suasana itu. Menyenangkan sekali. Sesekali kalian wajib mencoba.

Dengarkan alunan air, rasakan belaian angin, perhatikan bulan itu. Ketiga hal itu seperti roti tawar yang sudah diisi dengan mesis, keju, mentega dan siap santap dipagi hari.

Sementara aku menikmati itu semua, Yandri masih bingung dengan celananya yang robeknya semakin besar, Panjul masih berusaha menggoda cewek yang sedang berenang, Adit menahan dingin sambil duduk dikursi.

Kali ini aku merasakan nikmatnya bulan dikolam renang. Benar-benar bulan. Bukan “bulan”. Silahkan coba.


Readmore »»

Sunday, July 20, 2008

Diam

“Sudah satu jam lebih aku menunggumu bicara. Tapi tak juga sepatah kata keluar dari mulutmu”, kata lelaki itu.

“apa sebenarnya maumu? Apa kau bisu?” lanjutnya.

Kali ini keadaan menjadi benar-benar diam. Tak ada yang bersuara kecuali burung hantu yang menguhu-uhu sepanjang malam. Ia menjadi bosan. Gelisah. Berkali-kali ia melirik pintu kamarnya seolah berharap pintu itu akan meledak dan suasana menjadi gaduh.

Lalu ia duduk diatas ranjangnya. Biasanya ranjang itu selalu berdecit ketika ada orang yang naik diatasnya. Tapi kali ini tidak. Ranjang itu seolah sudah bersepakat untuk diam.
Ia menjadi sangat geram. Kali ini dimantapkannya pandangannya pada pintu. “aku akan keluar dari sini jika masih kau tak juga bicara” katanya dalam hati.

Lima menit berlalu, tak ada juga suara yang terdengar. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Pintu dibuka. Cahaya remang lampu jalan diam-diam masuk lewat pintu itu. Dibiarkannya pintu itu terbuka lebar. Ia keluar.

Rambutnya yang berantakan semakin kacau diterpa angin. Tangannya menjadi dingin. Memang sekarang ini udara malam jauh lebih dingin dari malam sebelumnya. Sambil mengusap-usapkan kedua tanganya, ia terus berjalan.

Setelah beberapa blok ia lewati, ia memutuskan untuk duduk dibangku taman. Disore hari, taman itu selalu ramai. Anak-anak bermain sepakbola dan tertawa ketika ada yang terjatuh. Disebelah ada dua buah ayunan. Ayunan itu hanya bergoyang-goyang sedikit karena tiupan angin. Lagi-lagi bergoyang tanpa ada suara decit rantai ayunan yang sudah karatan.

Ia teringat masa kecilnya. Ketika itu ia selalu saja berisik dan membuat gaduh ketika keadaan tenang. Dari kecil ia benci keadaan yang sepi. Ia selalu ingin mendengar sesuatu dikedua telinganya. Dan malam ini kebencianya memuncak.

“Brengsek…!!!” ia berteriak kencang. Namun dalam hitungan sepersekian detik keadaan menjadi diam lagi. Ia berteriak lagi. Lalu diam lagi.

Dijambaknya rambutnya dengan kedua tangannya. Giginya bergemertak menahan kesal. Sesekali erangan kecil keluar lewat sela bibirnya. Malam semakin larut.

Tak terasa sudah sekitar satu jam ia duduk dikursi taman itu. Sudah berbagai macam pikiran yang melintas dibenaknya. Mulai dari ibunya, ayahnya, anjingnya, guru SD-nya hingga Tuhan.

Diliriknya jam tangan murahan yang dibelinya minggu kemarin. “sudah pukul empat pagi, sebaiknya aku pulang”, pikirnya.

Belum sempat ia berdiri, gerimis turun. Matanya tertuju pada butiran gerimis yang kelihatan berkilau dibawah cahaya kuning lampu jalan. Ia berdiri. Matanya masih tertuju pada kilauan gerimis dibawah lampu jalan.

Ia bertanya dalam hati “hei, kau gerimis, kenapa kau juga diam, ceritakan padaku bagaimana kau bisa muncul dengan tiba-tiba tanpa bersuara?”

Dalam hatinya ia berharap ada jawaban yang muncul. Ia menjadi kecewa karena memang tak ada jawaban. Lalu ia menghibur diri. “aku tahu kenapa kau diam, kau takut. Takut untuk berbicara. Takut untuk bercerita. Karena sesungguhnya kau anak haram hujan”, katanya dalam hati.

Rambutnya yang berantakan menjadi basah. Jaket coklatnya terlihat hitam karena basah. Hatinya semakin kesal karena gerimis tak menghiraukannya. Karena gerimis hanya diam mendengar caciannya.

“ah, sudahlah, lebih baik aku pulang. Dasar kau anak haram!”, umpatnya.

Ia kembali lagi berada dikamarnya. Pintu tetap dibiarkannya terbuka. Ia kembali duduk diranjang. Ia menunduk dalam-dalam. Dilihatnya kedua kakinya yang tampak pucat karena kedinginan. Tanpa berdiri, Ia melepas jaketnya. Lalu dilemparkannya kekursi kayu disebelah ranjangnya.

Tiba-tiba ia tersenyum. Seolah ia baru saja mendapat sebuah jawaban. Lalu ia berdiri. melangkah mendekati jendela. Dibukanya jendela itu. Dipejamkannya matanya perlahan. Ia mengerutkan dahinya seolah sedang berkonsentrasi.

Ia menelengkan kepalanya. Mendekatkan telinganya pada jendela. Ia mencoba untuk mendengarkan sesuatu. Namun tak ada yang terdengar olehnya selain burung hantu yang menguhu-uhu.

Dari jendela itu terlihat olehnya langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

“kau juga ternyata pengecut! Tak berani bersuara. Sama seperti gerimis”, ia mengumpati langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

Ia kembali duduk diranjang. Matanya dipejamkan, pendengarannya ditajamkan. Lalu ia tersenyum. “aku ingin mendengar suaramu. Kau caci saja aku, seperti aku telah mencaci gerimis, langit dan bulan”, katanya lirih.

Ia mendengar suara. “lelaki brengsek kau! Sedari tadi aku berbicara denganmu. Apa kau tak mendengar. Diamku adalah sebuah suara dan jawaban.”

Lelaki itu menangis. Menangis dalam diam.

Readmore »»

Monday, July 14, 2008

Give Me a Reason

: Teman-temanku, terutama kau.


Malam ini aku ingin mabuk. Sungguh ingin. Mabuk hingga terkapar. Tapi tampaknya ku sudah lebih dulu terkapar. Terkapar. Benar-benar terkapar. Tanpa bisa berulah lagi.

Bukan karena nilai-nilai busuk yang menghiasi KHS-ku. Itu bukan apa-apa. Tidak ada apa-apanya. Karena targetku semester ini sudah terpenuhi. Lulus ZIDS.

I'm so tired of playing,
Playing with this bow and arrow,
Gonna give my heart away,
Leave it to the other girls to play,
For I've been a temptress too long.

Dua tahun sudah berlalu sejak ku kenal kalian. Terutama kau. Semuanya sepertinya tak ada masalah. Kalaupun ada, selalu terselesaikan dengan damai. Hari ini aku tahu, kalian sangat perhatian. Perhatian sekali padaku. Terutama kau.
Aku tidak sedang menggombal sekarang ini. Atau juga sedang mencari perhatian. Tapi biarlah kali ini aku berterus terang.

Dua tahun yang lalu aku bukanlah siapa-siapa. Bahkan tak pernah terpikirkan bahwa aku adalah siapa-siapa. Kalian tahu benar. Ketika itu aku hanya seorang lelaki yang bertampang culun dengan IQ standar. Dan sekarang pun aku kira masih.

Ketika itu aku kalian terima dengan baik. Dikelas ataupun diluar kelas. Mungkin karena aku satu diantara dua kaum adam yang menghuni kelas sehingga kalian menerimaku (dengan terpaksa, hehehe).

Hmm just,
Give me a reason to love you,
Give me a reason to be,
A woman,
I just wanna be a woman.


Begitu nyata peran kalian, terutama kau dalam dua tahun ini. Sadar atau tidak kalian, terutama kau, membentukku menjadi seperti ini. Aku percaya itu. Kalian yang berperan penting selama dua tahun ini. Yah, okelah, pergaulan dengan para Ekspresianisme memberi dampak (+,-). Tapi tetap saja kalian yang berperan banyak. Setiap hari berkumpul dengan kalian dalam satu kelas.

Gila! Itu kata yang awalnya aku dengungkan ketika tahu bahwa ternyata akhirnya aku menjadi satu-satunya kaum adam dikelas (kalau desi masih cewek, hehehe).
Toh akhirnya tak bermasalah. Justru menguntungkan. Menguntungkan sekali. Terutama soal tugas dan segala tetek bengek-nya.

From this time, unchained,
We’re all looking at a different picture,
Through this new frame of mind,
A thousand flowers could bloom,
Move over, and give us some room.

Entah berapa kali aku terselamatkan oleh bantuan kalian. Baik yang sengaja atau tidak. Tugas kelompok yang selalu kalian kerjakan dengan baik, benar-benar menguntungkanku. Tentu kalian tahu alasannya.

Aku sudah sadari ini dari awal. Tapi, maaf, aku hanya mahasiswa yang ber IQ standard dan tentu tak berperasaan (kata beberapa teman).

Selalu saja nilaiku baik, padahal, tak ku kerjakan tugas-tugas. Kalaupun ku kerjakan. Kalian sumbernya (copy paste). Dan kalian (sebagian besar) selalu ada yang mendapat nilai dibawahku.

Yeah,
Give me a reason to love you,
Give me a reason to be
A woman,
I just want to be a woman.

Pagi itu sebuah tamparan melayang kepipi kananku. Pagi sekali. Sekitar pukul tujuh pagi, sebelum jam kuliah pertama dimulai. Aku tanpa sengaja menghilangkan tugas kuliah seorang teman yang dititipkan padaku.

Ketika itu bingung sekali rasanya. Mungkin itu yang dinamakan rasa bersalah (red-dosa).

Dipagi yang lain, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku kalang kabut. Aku belum buat tugas makalah pengganti ujian. Ya sebenarnya bukan belum buat, tapi sudah buat, hanya saja sedikit. Sedikit sekali.

Kuraih HP kapiranku, bergegas ku sms kalian. Tentunya minta bantuan. Bantuan kalian. Akhirnya cerita dapatlah aku copy paste-an dari Desi (You are my hero!).

Nilai hasil ujian pun keluar. Yah, tepat. Seperti ceritaku diatas. Aku mendapat nilai yang lebih baik dari kalian. Aku tak kan mempersalahkan dosen yang memberi nilai.

So don't you stop being a man,
Just take a little look from our side when you can,
Sow a little tenderness,
No matter if you cry.

Entah siapa saja yang sudah menanyakan nilaiku lewat SMS. Yang pasti ada beberapa. Wajar saja. Karena aku kira kalian sudah menjadi begitu muak (mungkin) denganku.

Muncullah rasa bersalah lagi.

Give me a reason to love you,
Give me a reason to be,
A woman,
It's all I wanna be is all woman.

Ok, itu sebuah cerita (lebih tepat pengakuan). Tapi bukan itu inti yang ingin kusampaikan.

Dengarkan lagu ini baik-baik.

For this is the beginning of forever and ever,
It's time to move over ,
So I want to be.

Kalian nyanyikan saja ini untukku. Terutama kau. Nyanyikan ini untukku.

Hehehe, sangat menyedihkan sekali bukan aku.

I'm so tired of playing,
Playing with this bow and arrow,
Gonna give my heart away,
Leave it to the other girls to play.
For I've been a temptress too long.

Kalian benar-benar teman yang baik. Sangat baik. Terutama kau.

Hmm just,
Give me a reason to love you

Aku ingin mabuk. Mabuk untuk semua kebaikan kalian. Thanks.

NB : Kau benar. Tapi tak sepenuhnya benar. Mungkin ini lagu cocok untuk kau nyanyikan untukku. I have no reason.

Readmore »»

Wednesday, July 9, 2008

Kuburan!


Turut berduka cita karena dibunuhnya Pejalanjauh.com oleh pemiliknya. “bunuh diri maya” istilah pemiliknya.
hahahaha!!!

Pesan terakhir : Thanks, Aku banyak belajar darimu.

Readmore »»