Wednesday, June 11, 2008

Melihat dunia di balik punggung

Siang itu saya lihat hasil jepretan foto seorang teman. Diantaranya ada foto saya, sedang duduk ditepi sungai bersama dengan 2 teman. Foto itu tidak menampilkan muka kami, tapi punggung kami. Cahaya keemasan matahari yang dipantulkan air sungai membuat suasana foto itu menjadi sangat khimad.

Foto itu memang tak begitu bagus, tapi foto itu seolah menunjukan dunia lain dimata saya. Sisi lain dunia. Saya ingat beberapa kejadian yang baru terasa berarti ketika saya melihat foto ini.

Suatu ketika seorang teman perempuan mengatakan kepada kekasihnya yang hendak pergi “aku benci kau punggungi”. Muka teman saya itu tampak jadi lesu, tersirat kesedihan disenyumnya yang hambar. Sementara si laki-laki berjalan menuju halte bus, langkahnya yang semula mantap, menjadi ragu mendengar kata-kata si perempuan.

Saya hanya menerka-nerka apa yang dilihat oleh teman saya dibalik punggung sang kekasihnya. Sebuah dunia lain yang memisahkan mereka. Dunia yang hanya berisi air mata rindu. Seolah ada sekat pembatas antara dua dunia, dunia si perempuan dan dunia si laki-laki.

Si laki-laki berjalan menembus dunia lain yang tak bisa dijangkau oleh si perempuan. Perjalanan kedunia lain itu diiringi pandangan tak ikhlas si perempuan. Singkat kata saya iongin menjelaskan ada dunia kesedihan dibalik punggung si laki-laki. Kesedihan yang dirasakan oleh si perempuan dan juga si laki-laki. Dan mereka berjalan sendiri-sendiri didalam dunia yang sama, dunia kesedihan.

Saya ingat ketika saya hendak berangkat ke Yogya untuk kuliah. Saya diantar bapak ke loket bus dan kerena sudah waktunya bus jalan, saya langsung naik ke dalam bus. Sementara bapak memandangi saya. Yang terlihat tentu hanya ransel merah besar yang saya panggul.

Lagi-lagi saya menerka-nerka, bapak melihat dunia lain. Dunia yang siap menanti anak keduanya ini untuk bertarung didalamnya. Bertarung dengan dunia baru yang akan menentukan masa depan anaknya. Bapak melihat cita-cita anaknya untuk menjadi seorang sukses yang panggul dipunggung siap untuk diraih.
Ya, bapak melihat itu. Saya yakin.

Suatu malam di Tnong, tempat ngopi baru, saya duduk berhadap-hadapan dengan perempuan pujaan. Malam itu terlewatkan dengan penuh tawa. Ada moment dimana mata kami saling beradu, seolah mencoba saling membaca pikiran. Cukup lama kami beradu pandang. Yang kuingat saat itu cuma mata jernihnya yang seolah mengajak untuk berdansa dengan diiringi lagu-lagu cinta.

Selepas itu ku antar dia pulang. Didepan gerbang kosnya, kami masih saling diam. Ia turun dari motor, membuka gerbang.
“udah pulang sana” ucapnya memecah keheningan.
Aku hanya mengagguk.
Ia menutup gerbang lalu berjalan menuju pintu ruang tamu. Aku masih memperhatikannya. Ia membuka pintu lalu masuk. Aku masih diam. Ia melambaikan tangan. Kubalas dengan senyum tak jelas. Pintu tertutup. Aku melaju pulang.
Sampai dirumah, ku terima sebuah SMS dari dia.
“aku bimbang…”

Siang setelah malam itu, kami duduk berhadap-hadapan lagi disebuah tempat makan. Hanya kami berdua saat itu. Aku mulai sadar, walaupun berhadap-hadapan, aku hanya melihat punggung. Tiba-tiba ia menjadi dingin.

Tak ada yang istemewa lagi siang itu. Malam yang dingin waktu itu bisa menjadi begitu hangat, tapi siang yang panas ini menjadi begitu dingin.

Setelah siang itu semuanya berubah. Tak ada lagi mata jernih yang mengajak untuk tertawa dan berdansa. Yang kulihat hanya sebuah punggung. Dia berjalan menjauh tanpa meninggalkan senyum atau lambaian tangan. Cuma sebuah punggung, punggung yang dingin.

Kulihat sebuah dunia baru dipunggung itu. Dunia yang sepi, yang siap menerkamku. Lamat-lamat pandanganku menjadi kabur, dunia baru itu semakin mendekat. Diam adalah jalan yang terbaik saat itu, menurutku.

2 comments:

zen said...

nice, bro! punggung itu, kadang, seperti peta: ada jelujur jalan dan sejumlah arah yang tertera, tp sayangnya itu peta yg buta, kita kudu menafsirkannya sendiri. nah, menafsir2kan itu yg bisa jadi pekerjaan yg meletihkan.

Tea said...

siapa bilang itu foto jelek...
itu foto yang sangat cantik (menurutku). tapi punggung...
melihat punggung memang biasanya menjadikan suasana begitu menyedihkan.
hanya saja tergantung bagaimana kita menafsirkan. multiinterpretasi-lah.