Thursday, April 8, 2010

Meleburlah!

Ini keping uang
Roti sekepal dimakan kecoa gila
Berderetlah ia bersama mereka
Meruntuhkan Jeriko
Genap dan ganjil menjadi kentara
Hei kau!
Meleburlah!
Jibril dan Lucifer telah mati!


Readmore »»

Tuhan Tak Datang Lagi

Pagi ini benar-baner berharap Tuhan akan datang ke rumahku. Tapi sampai sore hari Ia tak kuncung muncul juga. Ini sudah keempat kalinya aku mengundangnya untuk datang, namun Ia tak datang jua.

Kali pertama aku mengundang-Nya tepat empat tahun yang lalu. Dalam undangan yang ku kirim, aku minta Ia datang kerumahku pada hari sabtu sore, empat hari setelah Natal empat tahun yang lalu. Ia tak datang jua sampai hari berganti. Aku bisa paham, mungkin Ia sangat sibuk dengan urusan lain atau mungkin ada undangan yang lebih penting. Maklum juga, masih dalam suasana Natal, pasti banyak undangan buat-Nya.

Kemudian aku bermaksud mengundangnya lagi. Barang kali Ia bisa meluangkan waktunya pada undanganku yang kedua. Aku merencanakan masak-masak undangan kedua ini. Aku mengirimnya lebih cepat dari undangan pertama. Undangan pertama ku kirim satu bulan sebelumnya, dan untuk yang undangan yang kedua, ku kirim enam bulan sebelumya, berharap asistennya bisa memasukkan kedalam agenda semesteran-Nya.

Dengan optimis aku menunggu kedatangannya. Aku sengaja menyisakan sedikit uang gajiku untuk sekadar membelikan kue yang enak untuk disuguhkan ketika Ia datang. Di amben rumah ku tunggu Dia, di dapur, kue sudah ku siapkan lengkap dengan teh celup sariwangi yang sering ku lihat iklannya ketika nonton tv dirumah tetangga. Namun sampai larut malam dan aku ketiduran di amben Ia tak datang juga.

Paginya, dengan sedikit kesal ku jual lagi kue yang ku siapkan untuknya. Sayang bagiku untuk memakan kue itu. Terlalu mahal dan enak untuk melewati tenggorokanku. Beruntung tetanggaku mau membeli kue itu. Hasil jual kue itu ku berikan pada ibu untuk beli beras. Dengan kesal aku bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa Ia tak datang. Ku periksa alamat rumah-Nya yang ku catat pada sebuah kertas. Alamatnya benar, dan aku tak mungkin salah menyalin pada amplop surat.

"Jalan Raya Surga, gang keslamatan no. 1 A, Surga 57031," ku eja alamat dikertas itu. Aku mengangguk-angguk sendiri, berpikir mungkin alamat itu susah dicari pak pos, sehingga tidak sampai. "Namun kenapa pak pos tidak mengirimkan kembali surat itu jika tidak sampai ke alamat," gumamku.

Setelah itu aku berhenti sejenak berpikir untuk mengundang Ia datang kerumah. Aku harus berpikir ujian semester yang tinggal tiga minggu lagi. Aku berencana akan mengundang-Nya lagi dengan trik baru supaya Ia datang. Namun itu tak ku lakukan setelah selesai ujian semester. Ibu mendadak sakit dan dirawat dirumah sakit tiga hari. Aku sudah tidak lagi sempat memikirkan undangan, yang ku pikirkan adalah bagaimana membantu ayah mencari uang untuk membayar biaya ibu dirumah sakit.

Selama satu bulan total aku tak masuk sekolah, aku putuskan untuk ikut ayah melaut. Pikirku, paling tidak dengan tambahan personil untuk menjala ikan, mungkin akan dapat banyak ikan dan bisa mendapat banyak uang. Namun na'as, bulan ini cuaca tidak menentu, justru kami hanya mendapat sedikit ikan. Akhirnya, karena desakan rumah sakit untuk segera membayar biaya rumah sakit, ayah memutuskan untuk menjual kapal tongkang warisan kakek yang biasa kami pakai melaut untuk membayar biaya rumah sakit dan berobat jalan ibu.

Tiga bulan setelah itu, kakakku perempuan yang semula hanya bekerja buruh cuci, kabur dari rumah. menurut cerita teman-temannya yang masih sering berkomunikasi dengannya, ia sekarang berada di Singapura bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ya memang setelah itu, rutin setiap bulan seorang teman kakakku memberikan kami uang. Katanya uang ini titipan dari kakakku yang dikirim lewat rekening bank miliknya. Maklum saja kami tak punya tabungan ataupun rekening di bank.

Setelah kondisi ibu sudah membaik, aku barulah mulai berpikir untuk mengirim undangan kepada-Nya lagi. Kali ini surat ku ketik dengan komputer. Setelah ku lihat-lihat tulisan tanganku jelek sekali, mungkin Ia tak bisa membaca tulisanku yang ruwet itu sehingga tidak datang. Dengan percaya diri, ku kirim lagi surat undangan ketiga.

Dalam surat yang ku ketik resmi itu ku cantumkan tembusan kepada Pendeta dan Majelis Gereja setempat. Harapanku paling tidak jika ada tembusan ke Pendeta dan Majelis Gereja setempat, Ia akan mempertimbangkan untuk datang ke rumahku.

Dengan baju koko pemberian seorang haji di dekat rumahku (aku heran pada haji ini, meski ia tahu kami berbeda keyakinan dengannya, pada saat natal ia memberikan kami sekeluarga bingkisan berisi busana muslim dan alat sholat, awalnya ibu tersinggung, tapi kami mengambil hikmahnya saja, kami dapat pakaian baru), ku tunggu Ia di teras rumah. Setelah dua setengah jam menunggu, aku mulai resah. Setelah jalanan mulai sepi, aku mulai menghapus harapanku bahwa Ia akan datang. Ia benar-benar tak datang (lagi).

Beberapa minggu setelah itu, ayah pergi dari rumah. Menjadi buruh disini tidaklah mendapat cukup banyak uang untuk kami. Ayah pergi kekota untuk mencari uang disana. Sementara itu ibu kembali sakit-sakitan. Aku pun akhirnya berhenti sekolah dan menjadi buruh angkut di toko milik pak haji yang aneh itu.

Genap enam bulan sudah ayah pergi, kami dirumah tak tahu kabar ayah sama sekali. Hanya sekali-sekali adikku bercerita bahwa ayah baik-baik saja. Ku tanya darimana ia tahu kabar ayah, ia menjawab bahwa ayah pernah menemuinya dalam mimpi.

"Ayah sehat kok, tadi malam ketemu dimimpi," katanya.

Aku hanya mengiyakan saja kata adikku itu. Lalu ku katakan padanya, "kelak jika kau telah dewasa, jadilah laki-laki yang hebat seperti ayah."

"iya kak, aku akan jadi laki-laki hebat seperti ayah," jawabnya dengan semangat sembari mengacungkan jempol bergaya seperti kartun naruto kesukaannya.

Sekitar lebih satu tahun kemudian, aku terpikir ide untuk mengundang Tuhan mampir kerumahku lagi. Kali ini dalam surat ku ceritakan tentang ibuku yang sakit-sakitan, ayahku tak ada kabar, kakakku yang tak ada kabar lagi selain uang bulanan yang dititip lewat temannya, dan juga adikku yang masih kecil yang penuh semangat dan cita-cita. Ini adalah trikku untuk memastikan Ia akan datang. Aku berpikir, ia akan iba mendengar ceritaku dan akan datang kerumahku. Kali inipun aku mengundangnya datang jam berapa pun, berharap Ia ada waktu di sela kesibukannya untuk sekadar mampir barang lima menit.

Pagi-pagi aku sudah mandi dan menyiapkan kopi instan untuk-Nya. Pagi hari adalah waktu yang enak untuk menyerup kopi, aku yakin Ia akan menyukainya. Aku sengaja izin tak kerja untuk menunggu-Nya seharian ini. Hari sudah siang dan perutku sudah mulai keroncongan, ku sempatkan makan dahulu lalu bersiaga di depan rumah menunggu-Nya.

Sampai sore hari tak muncul juga batang hidung-Nya. Kira-kira pukul delapan malam, ketika ku dengar ibu batuk-batuk lagi, aku masuk kedalam rumah. Setelah keempat kalinya aku mengundang Ia datang kerumah, Ia tak datang jua. Meski aku sudah jengkel karena Ia tak pernah datang, aku masih berpikir positif.

"Mungkin rumahku terlalu sulit untuk ditemukan dan Ia tersesat dijalan," kataku dalam hati.

Readmore »»

Thursday, March 11, 2010

membunuh

"sudah petang, aku sebaiknya pulang," katanya sembari menyambar sisa rokok yang masih menyala diatas asbak.

Matanya begitu tajam ketika melirik kursi tempat ia duduk tadi sebelum keluar. Pintu tertutup. Ia telah pergi. Malam menjadi semakin mencekam setelah ia pergi. Ia telah mengutuk malam sehingga menjadi merana. Malam adalah kebencian yang menggumpal menjadi gulita dalam dirinya.

***

Delapan belas tahun yang lalu, ia hanyalah anak kecil yang begitu polos. Ia menuruti segala perintah orangtuanya. Jika ayahnya menyuruh diam, ia akan diam sampai ayahnya meyuruhnya bicara. Ia akan berhenti bermain ketika ayahnya mengatakan berhenti.

Semuanya berjalan dengan begitu teratur. Bahkan ketika jam makan tiba, ia buru-buru duduk diruang makan dengan melipat tangan diatas meja. Ia akan menunggu ayahnya untuk makan bersama. Untuk itu ia harus menunggu lebih dari setengah jam.

Ketika hari menjelang malam, ia segera menyalakan sebuah sentir yang sudah dibersihkan. Lalu membawanya kedalam kamar kerja ayahnya. Dengan hati-hati ia meletakkan sentir diatas meja, semetara ayahnya terus bekerja. Ia kembali kekamarnya yang gulita. Ia sudah begitu hafal dengan kegelapan, sehingga ia tidak butuh meraba lagi untuk berjalan kedalam kamar.

Hal itu ia lakukan selama nyaris seumur hidupnya. Hingga suatu ketika, pada hari jadinya yang ke tujuh belas, ia ingin merasakan malam dengan cahaya dikamarnya. Sejak pagi hari ia berpikir bagaimana caranya supaya malam ini ia bisa membawa sentir itu kedalam kamarnya. Ia ingin melihat kamarnya pada malam hari.

Siang itu ketika makan siang ia memberanikan diri untuk bertanya pada ayahnya.

"yah, aku ingin malam ini membawa sentir dikamarku. Aku ingin melihat kamarku pada malam hari. kali ini saja."

Ayahnya hanya menggeleng. Ia pun diam, lalu menghabiskan makan siangnya.

Ketika hari mulai petang, ia menjadi gelisah. Ia kembali lagi pada ayahnya.

"yah, bolehkah aku membawa sentir kekamar?"

Sang ayah hanya menggelang. Ia pun kembali kekamarnya.

Tak berapa lama, sudah waktunya ia membawa sentir ke kamar kerja ayah. Dengan berat ia melangkah membawa sentir itu kekamar kerja ayahnya. Akhirnya ia berinisiatif untuk menunggu ayahnya hingga tidur lalu akan membawa sentir kedalam kamarnya.

Ayahnya duduk dikursi dan ia duduk dilantai. setelah sekitar dua jam, ayahnya tertidur dimeja kerja. Ia pun dengan segera mengambil sentir dan berlari menuju kamarnya. Ia begitu berdebar-debar memasuki kamar. Sesampai dikamar ia begitu takjub, ia mersakan kamarnya begitu teduh dengan cahaya dari sentir.

Tak lebih dari lima menit, terdengar teriakan ayahnya. Ia berlari membawa sentir ke kamar ayahnya. Sesaat ia sampai kamar ayahnya, ayahnya sudah tidak lagi berteriak. Ia melihat ayahnya duduk terkulai di kursi.

"yah,.."

tak ada jawaban dari ayahnya. Ia mendekati ayahnya, lalu menyentuh pundak ayahnya. Ayahnya jatuh ke lantai. ia melihat seekor ular melesat melalui lubang dibalik meja kerja ayahnya. Ayahnya meninggal.

***

Ia berlari menuju rumahnya, dadanya kembang kempis, nafasnya tersengal-sengal. Sesampai dirumah diambilnya sebilah pedang. Pada hari pemakaman ayahnya ia berjanji bahwa setelah ia menemukan ibunya, ia akan membunuh malam.

Readmore »»

Jendela

(sambungan dari cacatan "mengenalmu" yang hilang entah kemana)

Jendela, sebagian orang menganggap seperti sebuah etalase yang memperlihatkan sesuatu diluar diri. Sebuah teropong untuk megintip keadaan yang berada diluar jangkauan. Bisa jadi keadaan yang baik atau bahkan buruk. Dalam tradisi cina Jendela adalah salah satu factor terpenting dalam penataan rumah. Besar-kecilnya, letaknya, dianggap memiliki pengaruh dalam kehidupan. Tapi bagiku apapun filosofi, fungsi atau apapun itu yang melekat padanya, jedela membuatku semakin ingin mengenalmu.

Semuanya berawal dari sore itu. Ketika itu aku sedang duduk bersandar pada sebuah jendela. Tak sengaja ku lihat kau duduk disana dengan beberapa temanmu. Mulanya aku tak yakin kalau itu adalah kau, pertama, kerena aku memang sudah sedikit lupa wajahmu sejak bertemu pertama kali, kedua, mataku sudah cacat, sulit diajak melihat dari kejauhan.

Setelah beberapa menit menyipitkan mata serta mengingat-ingat wajahmu, aku baru yakin bahwa itu adalah kau. Perempuan yang mengenakan jaket berwarna biru langit dan celana panjang jeans model anak muda jaman sekarang.

Lagu-lagu pujian ala gereja yang kau nyanyikan bersama teman-temanmu semakin menegaskan bahwa itu kau. Aku anggap bahwa nyanyian ini adalah salah satu cirimu. Aku melihatmu menyanyikan lagu gereja. Itu hal yang menyenangkan. Bukan karena suaramu bagus, tapi karena kau menyanyikannya dengan tulus. Aku melihat ketulusan itu dari keceriaanmu.

Aku yakin kau tak melihatku kala itu. Karena aku melihatmu dari balik jendela. Jedela memberiku celah untuk tetap diam-diam mengamatimu.

Karena jendela ini, aku benar-benar telah menjadi pengagum rahasiamu. Masih tak ada alasan, hanya ingin saja. Menjadi sangat nyaman melihatmu dari sini. Mungkin karena aku menjadi sangat leluasa untuk mengamatimu tanpa kau tahu. Tembok-tembok seolah menjadi jubah ajaib yang jika dikenakan akan menghilang dari pandangan mata. Ya, kau tak tahu.

Kau tak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum, tertawa kecil. Aku teringat pertama kali bertemu denganmu. Baju putih, celana jeans biru, dan sepatu (seperti sepatu balet). Aku tidak sedang mendramatisir, tapi momen itu selalu menjadi sketsa yang menarik untuk ku.

Ketika itu aku menjabat tanganmu, tanpa menyebutkan nama. Kau pun sebaliknya, tak menyebutkan nama. Ya memang karena itu bukan sebuah momen perkenalan jadi tak perlu menyebutkan nama. Tapi sejujurnya aku berharap hari itu aku akan tahu namamu, bahkan jika di izinkan, tahu juga nomor hp-mu. Namun sayangnya tidak.

Aku secara tak sengaja menjumpai dirimu didunia maya. Lewat satu jendela didunia maya, aku baru tahu beberapa informasi tentang dirimu. Ya meski tak banyak, minimal aku sudah bisa menyebut namamu. Lagi-lagi jendela memberiku celah untuk diam-diam mengamatimu.

Ya aku hanya percaya jendela jugalah yang suatu saat akan membuatku makin mengenalmu. Maaf jika tulisan ini sangat tidak enak dibaca, ini karena computer yang lelet ini yang membuatku emosi dan tak focus. Lebih baik ku sudahi saja bualanku soal jendela. Biarlah jendela tetap memberiku celah untuk tetap menjadi pengagum rahasiamu.

Readmore »»

Akhirnya

Akhirnya tak ada lagi secangkir kopi pahit yang bisa menemani bangunku dari ranjang yang berdecit-decit warisan ibuku. Sudah ku janjikan bahwa hari ini, kopi pahit yang selalu ku tuang dalam mug warisan ayahku, sejak hari ini ditiadakan. Bukan karena aku tak lagi punya uang untuk membeli kopi pahit di warung sebelah, tapi karena memang sudah bukan saatnya menyesap kopi pahit. Ia selalu meninggal mimpi buruk di setiap serupan.

Aku ingat sekali bagaimana punggung terasa terbakar akibat mimpi buruk seminggu yang lalu. Memang aku tak ingat itu mimpi apa sebenarnya, karena hanya gelap yang terasa dan semakin gelap, punggungku semakin panas. Aku sempat tanya ke seorang teman yang kebetulan seorang dokter tentang punggungku yang terasa panas karena bermimpi, ia tak tahu, katanya mungkin sedang sumuk saja.

Entah bagaimana mulanya, akhirnya aku pada kesimpulan bahwa kopi pahit itu yang menyajikan mimpi buruk yang berakibat pada pungungku yang panas. Mungkin karena kegelapan dalam mimpiku menyerupai warna hitam kopi pahit itu atau juga karena rasa pahitnya hampir segetir mimpi itu. Ya, anggap saja begitu.

Dan sesuai janjiku, kopi ini akan ku lenyapkan dari pagiku.

Sesungguhnya berat untuk meniadakan kopi pahit itu. Bayangkan saja hampir separuh hidupku, ku habiskan dengan mengkhianati pagi dengan hitamnya kopi pahit.

Suatu ketika pacarku tidur dirumahku, pagi-pagi ketika aku bangun, ia membuatkan teh manis hangat dan camilan gorengan. Aku sama sekali tak menyentuh teh manis itu. Aku kedapur untuk membuat kopi pahit, tapi bungkusan kopi pahit itu sudah tidak ada di dapur. Pacarku membuangnya. Ia menyambangiku ke dapur lalu berkata,

“Aku yang membuang kopi pahitmu itu,” akunya.
Aku hanya menatapnya.
“kopi pahit tak baik untuk kesehatan, minumlah teh manis ini” katanya sambil menyodorkan teh manis yang ia buat dalam mug warisan ayahku.

Aku tak membalas. Ia menangis dan langsung berlari meninggalkan dapur. Setelah kejadian itu, ia tak pernah lagi datang ke rumahku. Menemuiku pun tak lagi. Namun terkadang ia mengirimku SMS yang sama, yang bunyinya kira-kira seperti ini,

Kopi tak baik untuk kesehatanmu, cintailah tubuhmu, seperti kau pernah mencintai aku

Pikirku, perempuan ini sinting, bagiku ia bahkan tak lebih penting dari pada ranjang berdecit warisan ibuku atau mug berwarna abu-abu warisan ayahku dan tentunya tak lebih penting dari kopi pahit. Aku tak sedang merendahkan mantan pacarku, tapi saat itu, ia tak lebih penting dari semua itu.

Ranjang warisan ibuku itu adalah ranjang ternyaman sekaligus menyakitkan. Ranjang ini begitu nyaman untuk ditiduri. Per-per nya begitu lentur, jika tidur diatas nya seolah tenggelam didalamnya. Begitu lembut.

Dulu ketika ibuku masih hidup, ranjang itu digunakan untuk mengikatnya sampai ia tenang. Ibuku tidak waras alias gila. Ia gila ketika aku kecil. Menurut cerita-cerita saudaraku, ibu gila sejak kakakku yang laki-laki lari dari rumah untuk menikahi pacarnya yang seorang pelacur. Tapi belum sempat menikah, kakakku lebih dulu meninggal dibacok pengedar yang kesal karena utangnya tak kunjung dilunasi.

Kakek dan ayahku berkerjasama untuk mengikat ibuku ditempat tidur itu jika sedang mengamuk. Sampai akhirnya, ibu juga meninggal ditempat tidur berdecit itu. Menurut ayahku yang sedikit menyukai hal-hal klenik, jika ranjang itu berdecit sendiri tanpa ada orang yang tidur diranjang, arwah ibu sedang mengencot-encot tempat tidur itu, seperti ketika ia masih hidup.

Sedangkan mug warisan ayahku, adalah mug warisan turun temurun sejak kakek buyutku. Mug itu tidak pernah digunakan untuk menyajikan minuman lain selain kopi. Menurut cerita kakek, mug itu didapat dari seorang tentara belanda yang dibunuh oleh kakek dirumah tentara belanda itu. Mug itu ia ambil diam-diam sebelum rumah belanda itu dibakar. Mug itu bentuknya biasa saja, tapi mug itu menjadi kebanggaan kakek buyut karena menjadi kenangan ia pernah membunuh seorang tentara belanda.

Pada dasar mug itu sudah terlihat hitam, karena dulu sempat menjadi asbak selama satu tahunan setelah ayah meninggal. Akhirnya abu rokok dan ampas kopi menjadi kolaborasi yang membuat cangkir itu menjadi kusam. Jika teman-temanku datang berkunjung, mereka sering mengomentari mug ini. Kata mereka, mug ini tak pantas lagi buat minum air apapun, cocoknya untuk asbak.

Aku sendiri masih heran kenapa mug ini menjadi special, percaya atau tidak, seberapa pun dituangkan gula kedalam mug, kopi dalam mug tetap pahit seperti tanpa gula. Mungkin ini akibat pernah dipakai sebagai asbak.

Aku akhirnya berhasil meniadakan kopi pahit pada pagi ini.

Hari sudah semakin siang, telpon berdering, awalnya ku diamkan saja. Setelah beberapa lama, telpon it uterus berdering, ku angkat juga akhirnya.

“halo” kataku.
“halo, apa kau siap mati hari ini?” kata seseorang yang ku duga adalah seorang wanita.
“kau siapa?” tanyaku.
“apa kau siap mati hari ini?” tanyanya lagi.

Mendadak punggung ku menjadi sangat panas, panas itu tidak merambat keseluruh tubuh. Ku lemparkan gagang telpon, lalu lari menuju kamar mandi. Aku langsung berendam dalam bak mandi yang hanya berukuran lebar 1x1 meter.
Dari punggungku keluar asap, tulang-tulang punggung ku bergemeretak persis seperti decit ranjang warisan ibuku, setelah beberapa menit, panas itu mereda, dengan pakaian basah aku keluar dari kamar mandi dan duduk diranjang.

Aku masih gemetaran, aku melirik ke meja telpon, Aku berjalan mendekati meja dan meraih gagang telpon, tak ada lagi suara yang kuduga suara perempuan tadi. Tiba-tiba punggung terasa hangat dan perlahan-lahan pada pundakku kiri dan kanan terasa seperi ada yang keluar.

Aku benar-benar terkejut, sepasang sayap keluar perlahan-lahan dari kedua pundakku. Seperti pada film-film Hollywood. Sayap itu mengepak-ngepak, lama-kelamaan aku terangkat dari lantai. Seperti seorang burung aku terbang. Sayap-sayap itu membawaku keluar rumah menuju kearah timur kearah tempat pemakaman.

Disana kuliah seorang perempuan yang ku kenal, ia membawa bunga dalam keranjang, berjalan menuju salah satu makam yang belum dikeramik. Sayap-sayap itu membawaku mendekati makam itu. Aku diturunkan tepat disamping perempuan muda yang sedang menaburkan bunga pada makam.

Pada nisan makam itu tertulis, Matahari lahir 23 Januari 1987, meninggal 23 Januari 2010, pada usia ke 23. Lamat-lamat ku dengar perempuan itu berbicara,

“sudah kubilang, kopi pahit tak baik untuk kesehatanmu, seharusnya kau minum jus saja”

Matahari adalah namaku.

Readmore »»

Bagi kebanyakan orang bahkan beberapa agama dan kepercayaan, hujan adalah berkat dari Sang Yang Widi. Bukan hanya simbol belaka, tapi benar-benar sebuah berkat. Meski begitu tidak semua hujan adalah berkat! Karena terlalu sering hujan pun berbahaya.

Bagi para penganut Taoisme, segalanya yang ada di dunia ini haruslah seimbang. Keseimbangan ini yang mereka sebut sebagai Yin dan Yang. Begitu pula hujan, ia menjadi bagian keseimbangan itu. Jika ia berlebihan maka akan terjadi ketidakseimbangan, yang bisa diartikan bencana.

Hari itu diselatan awan hitam sudah menggumpal, warna hitam itu semakin mengisyarakatkan bahwa ia sudah tak tahan lagi untuk memuntahkan hujan. Persis seperti seorang temanku dalam perjalanan ini yang menahan mabuk darat sampai mukanya pucat.
Duduk di deretan paling belakang, dekat jendela, aku duduk anteng sembari mengamati pohon-pohon dan rumah penduduk yang seperti lari kebelakang dengan cepat dan bus yang ku naiki ini diam statis. Sebuah tipuan mata yang sangat menyenangkan. Semua orang lah yang berjalan meninggalkan aku yang seolah berdiri diam. Menjadi tak ada beban bahwa bukan aku yang harus meninggalkan. Meninggalkan rasanya seperti beban berat yang harus ditanggung sampai mati.

lamat-lamat hujan sudah menyambangi jedela bus. Ia menyapa dengan getir lewat dingin yang dihantarkan melalui kaca jendela, yang kemudian membelai pipiku yang menempel pada jendela. Ya, ia begitu mesra. Seperti perempuan yang menunggu di seberang sana, berharap aku membawakan oleh-oleh sebotol arak bali.

Aku menegakkan kepala. Sepintas tetes hujan seperti anak panah yang berusaha menyerang ku. Entahlah, ia tampak ganas menghujam jendela bus ini. Beberapa saat setelah ku amati, jejak yang ditinggal hujan pada kaca jendela ini seperti sebuah tanda. Aku sendiri tak tahu tanda apa. Aku bukan ahli air yang bisa membaca tanda-tanda.

Pernah ku ketahui ada seorang Romo di Magelang yang bisa sangat paham soal air. Bahkan ia mampu mengidentifikasi air berdasarkan jenis kelamin. Ada air pria dan air wanita. Ia mengawinkan air tersebut untuk menghasilkan air yang baik. Ia mampu membaca tanda-tanda yang disampaikan oleh air. mungkin setelah ini aku harus belajar padanya.

Jejak air itu mebentuk jejak seperti huruf E, tapi bedanya ada garis yang membujur tepat pada ujung garis bawah, tengah dan pangkal. Kemudian berganti menjadi seperti lingkaran tidak sempurna. Lalu berubah-ubah hingga Fajar yang mulai letih bersinar mengaburkan tanda-tanda itu pada jendela.

Tapi apapun itu, hujan kali ini terasa sangat getir. Orang yang tidak peka seperti aku saja bisa merasakannya, apa lagi orang lain. Kondisi Bus tenang. Suara pemandu wisata yang sedari tadi menggema tak terdengar lagi. Aku cukup takjub, kenapa bisa menjadi hening, mungkin malaikat sedang menyambangi bus kami untuk absen terakhir sebelum ganti shift. hehehe...

Sesampai di Hotel (dengan perasaan jengkel pada jasa pariwisata yang pernah janji bahwa hotel di tengah kota, tapi kenyataannya di pinggiran kota yang pada pukul 22.00 toko-toko sudah tutup) aku meniatkan diri untuk berenang, barangkali air bisa menghilangkan jengkelku.

Dari atas kolam renang, bulan malu-malu mengintip kami yang bertelanjang dada. Namun setelah agak lama ini terang-terangan menonton kami yang sedang berenang. Ia seperti Jaka Tarup yang mengintip para bidadari khayangan mandi di air terjun. Meski aku tahu, girahnya tidak sebesar gairah Jaka Tarub ketika mengintip para Bidadari.

Bulan disini tampak murung, ia tidak seperti bulan di desa ku di padang ratu yang selalu tersenyum lebar setiap malam, menemani kami anak-anak kecil yang bermain petak umpet selepas mahgrib. Angin disini bercerita bahwa bulan disini baru saja kehilangan anaknya semata wayang. Ia terpaksa mengirimkan anaknya ke planet lain, kerena takut Kala akan memakan anaknya juga.

Bulan yang murung itu akhirnya memutuskan untuk bercerita padaku. Pertama-tama mengucapkan terima kasih padaku untuk kesediaanku datang menjumpainya. Ternyata, ia yang meminta hujan mengirimkan tanda padaku, untuk mengunjunginya malam ini.

Aku sebenarnya tak habis pikir, kenapa aku. Usut punya usut, ternyata karena kesamaan namaku dengan Dewa yang diyakini paling bijak diantara semua Dewa yang ada. Aku hanya bisa nyengir ketika ia menyampaikan alasan itu. Sial, seandainya Bapakku bukan penggemar wayang, mungkin aku tidak harus mendengar curhat bulan murung ini.

Setelah panjang lebar ia bercerita, akhirnya ada satu kesimpulan. Ia memintaku untuk bernegosiasi dengan Kala, supaya tidak mengejar anak sang Bulan itu. Dan bodohnya, aku mengiyakan. Ia kemudian menyuruhku menenggelamkan sebaruh badanku di air, kemudian memejamkan mata. Aku melakukan apa yang ia minta. Menurutnya, ini adalah cara untuk bertemu dengan Kala. Aku manut saja.

Readmore »»