Sunday, July 20, 2008

Diam

“Sudah satu jam lebih aku menunggumu bicara. Tapi tak juga sepatah kata keluar dari mulutmu”, kata lelaki itu.

“apa sebenarnya maumu? Apa kau bisu?” lanjutnya.

Kali ini keadaan menjadi benar-benar diam. Tak ada yang bersuara kecuali burung hantu yang menguhu-uhu sepanjang malam. Ia menjadi bosan. Gelisah. Berkali-kali ia melirik pintu kamarnya seolah berharap pintu itu akan meledak dan suasana menjadi gaduh.

Lalu ia duduk diatas ranjangnya. Biasanya ranjang itu selalu berdecit ketika ada orang yang naik diatasnya. Tapi kali ini tidak. Ranjang itu seolah sudah bersepakat untuk diam.
Ia menjadi sangat geram. Kali ini dimantapkannya pandangannya pada pintu. “aku akan keluar dari sini jika masih kau tak juga bicara” katanya dalam hati.

Lima menit berlalu, tak ada juga suara yang terdengar. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Pintu dibuka. Cahaya remang lampu jalan diam-diam masuk lewat pintu itu. Dibiarkannya pintu itu terbuka lebar. Ia keluar.

Rambutnya yang berantakan semakin kacau diterpa angin. Tangannya menjadi dingin. Memang sekarang ini udara malam jauh lebih dingin dari malam sebelumnya. Sambil mengusap-usapkan kedua tanganya, ia terus berjalan.

Setelah beberapa blok ia lewati, ia memutuskan untuk duduk dibangku taman. Disore hari, taman itu selalu ramai. Anak-anak bermain sepakbola dan tertawa ketika ada yang terjatuh. Disebelah ada dua buah ayunan. Ayunan itu hanya bergoyang-goyang sedikit karena tiupan angin. Lagi-lagi bergoyang tanpa ada suara decit rantai ayunan yang sudah karatan.

Ia teringat masa kecilnya. Ketika itu ia selalu saja berisik dan membuat gaduh ketika keadaan tenang. Dari kecil ia benci keadaan yang sepi. Ia selalu ingin mendengar sesuatu dikedua telinganya. Dan malam ini kebencianya memuncak.

“Brengsek…!!!” ia berteriak kencang. Namun dalam hitungan sepersekian detik keadaan menjadi diam lagi. Ia berteriak lagi. Lalu diam lagi.

Dijambaknya rambutnya dengan kedua tangannya. Giginya bergemertak menahan kesal. Sesekali erangan kecil keluar lewat sela bibirnya. Malam semakin larut.

Tak terasa sudah sekitar satu jam ia duduk dikursi taman itu. Sudah berbagai macam pikiran yang melintas dibenaknya. Mulai dari ibunya, ayahnya, anjingnya, guru SD-nya hingga Tuhan.

Diliriknya jam tangan murahan yang dibelinya minggu kemarin. “sudah pukul empat pagi, sebaiknya aku pulang”, pikirnya.

Belum sempat ia berdiri, gerimis turun. Matanya tertuju pada butiran gerimis yang kelihatan berkilau dibawah cahaya kuning lampu jalan. Ia berdiri. Matanya masih tertuju pada kilauan gerimis dibawah lampu jalan.

Ia bertanya dalam hati “hei, kau gerimis, kenapa kau juga diam, ceritakan padaku bagaimana kau bisa muncul dengan tiba-tiba tanpa bersuara?”

Dalam hatinya ia berharap ada jawaban yang muncul. Ia menjadi kecewa karena memang tak ada jawaban. Lalu ia menghibur diri. “aku tahu kenapa kau diam, kau takut. Takut untuk berbicara. Takut untuk bercerita. Karena sesungguhnya kau anak haram hujan”, katanya dalam hati.

Rambutnya yang berantakan menjadi basah. Jaket coklatnya terlihat hitam karena basah. Hatinya semakin kesal karena gerimis tak menghiraukannya. Karena gerimis hanya diam mendengar caciannya.

“ah, sudahlah, lebih baik aku pulang. Dasar kau anak haram!”, umpatnya.

Ia kembali lagi berada dikamarnya. Pintu tetap dibiarkannya terbuka. Ia kembali duduk diranjang. Ia menunduk dalam-dalam. Dilihatnya kedua kakinya yang tampak pucat karena kedinginan. Tanpa berdiri, Ia melepas jaketnya. Lalu dilemparkannya kekursi kayu disebelah ranjangnya.

Tiba-tiba ia tersenyum. Seolah ia baru saja mendapat sebuah jawaban. Lalu ia berdiri. melangkah mendekati jendela. Dibukanya jendela itu. Dipejamkannya matanya perlahan. Ia mengerutkan dahinya seolah sedang berkonsentrasi.

Ia menelengkan kepalanya. Mendekatkan telinganya pada jendela. Ia mencoba untuk mendengarkan sesuatu. Namun tak ada yang terdengar olehnya selain burung hantu yang menguhu-uhu.

Dari jendela itu terlihat olehnya langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

“kau juga ternyata pengecut! Tak berani bersuara. Sama seperti gerimis”, ia mengumpati langit yang muram tanpa bintang dan bulan yang semakin pucat.

Ia kembali duduk diranjang. Matanya dipejamkan, pendengarannya ditajamkan. Lalu ia tersenyum. “aku ingin mendengar suaramu. Kau caci saja aku, seperti aku telah mencaci gerimis, langit dan bulan”, katanya lirih.

Ia mendengar suara. “lelaki brengsek kau! Sedari tadi aku berbicara denganmu. Apa kau tak mendengar. Diamku adalah sebuah suara dan jawaban.”

Lelaki itu menangis. Menangis dalam diam.

1 comment:

Anonymous said...

aku bisa menggambarkannya di pikiran ;)