Saturday, June 21, 2008

Rokok

Aku adalah rokok. Tak tahu mengapa orang menyebutku rokok. Tak ada filosofi yang jelas dari nama itu. Tentu kalian tahu keadaan fisikku. Berbentuk bangun tabung, biasa berwarna putih, hitam ataupun juga cokelat, terbuat dari tembakau dan beberapa ramuan lainnya. Orang menggunakan api untuk menikmatiku. Mereka menikmati kehancuranku menjadi abu.

Siang itu aku sudah terselip diantara jari-jari kecil. Seorang anak SD rupanya. Dibelakang gedung seklahan yang sudah tua. Plafonnya sudah hancur, tinggal menunggu dihinggapi kupu-kupu, rubuhlah itu pikirku. Diselipkan aku pada bibirnya yang masih merah. Diambilnya dari saku celana merahnya sebuah korek api. Dinyalakannya. Lalu terbakarlah aku. Asap pertama sudah mengepul dalam satu hisapan. Sempat dia terbatuk ketika mencoba mengeluarkan sisa pembakaranku dari hidungnya.

“sialan bener bu guru, Cuma gak buat PR aja disuruh keluar” keluhnya.

“awas aja nanti…!”lanjutnya terus ngomel.

Dihisapnya lagi aku. Dalam diam dia terus menghisapku walaupun tetap dia terbatuk-batuk ketika mengeluarkan asapku dari hidungnya. Aku tahu itu menyesakkan sekali ketika terbatuk karena asapku tertelan atau nyadet di hidung. Tapi dasar anak Bengal. Tetap saja diteruskan menghisapku.

Beberapa menit kemudian tubuhku sudah dilahap bara hingga tinggal setengah. Dia duduk menyandar pada dinding yang sudah kusam catnya. Terus saja mengomel. Terkejut aku ketika tiba-tiba satu tangan merampasku dari bocah tadi.

Ternyata bu guru yang mengusirnya dari ruang kelas karena tidak buat PR. Aku lihat anak itu mendadak jadi pucat.

“Tejo…! Kamu ini sudah tidak membuat PR, malah merokok disekolah lagi. Nakal benar kamu ini…!” bentah sang guru sambil njewer kuping bocah Bengal tadi.

“aduh…aduh…ampun bu” katanya merintih nyaris tak terdengar.

“ikut ibu kekantor” sergah sang guru itu sembari mematikan bara di ujung badanku.

Aku diletakkan diatas meja bertaplak batik. Diatas meja tertera pada papan nama SARIMANAH, Spd.

“jo…jo kamu itu kok buat masalah terus…”

Tejo hanya menunduk masih pucat.

“bosan ibu memarahi kamu, begini saja besok suruh orang tua mu menghadap ibu ya”

Tejo hanya mengangguk.

“ya sudah kamu pulang saja kerumahmu saja, tak usah ikut pelajaran hari ini.”

Tejo diam.

“Ingat orang tuamu besok harus menghadap ibu atau ibu sendiri yang akan kerumahmu” bu sarimanah mengakhiri celotehnya dan mempersilahkan tejo meninggalkan kantor guru.

Nasib malang pun menimpaku, tubuhku diremas hingga keluar semua tembakau dalam tubuhku oleh bu sarimanah, lalu membuangku ke got didepan kantor guru.

***

Pemuda berumur sekitar 25 tahunan memain-mainkan aku dijarinya tanpa menyalakan aku. Diputar-putarnya aku dijari-jarinya. Aku lihat wajahnya yang resah. Hanya menebak saja bahwa dia mengkuatirkan sesuatu. Kakinya yang dibungkus jeans hitam bergoyang-goyang seperti gemetar. Matanya melihat lantai putih bersih.

Beberapa lama baru aku sadar bahwa aku berada diruang tunggu rumah sakit ketika kulihat beberapa Suster mondar-mandir melewatiku. Kau tahu tentunya bau rumah sakit seperti bau obat.

Seorang Suster menghampiri kami. Di dada sebelah kanannya tertera namanya DEWI.

“mas kalau merokok jangan disini.” Tegur Suster itu.

Tanpa menjawab pemuda itu berdiri dan membawaku kepakiran. Duduk dia diatas motor yang diparkir. Diambilnya mancis dari saku jeans-nya, menyelipkan aku disela bibirnya lalu membakarku. Asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya.

Beberapa menit kemudian dia bangkit dari duduknya. Berjalan lagi hendak masuk rumah sakit. Masih dihisapnya aku sambil berjalan. Dia berhenti sejenak, dilihatnya ambulan yang baru saja berhenti didepan UGD. Ambulan itu dibuka. Tempat tidur besi yang biasa dipakai untuk pasien keluar dari ambulan. Disusul seorang perempuan berpakaian daster kembang-kembang, aku perkirakan ibu itu berusia 40 tahunan. Ibu itu menangis meraung-raung.

Aku dengar ibu itu menyebut sebuah nama disela tangisnya “Tejo”. Mungkin nama anaknya yang terbaring diranjang itu. Seorang lelaki berdiri disebelah ibu itu sambil memegangi bahu ibu itu.

Pemuda itu mengubah arah jalannya. Dia menuju ruang UGD. Diikutinya ibu-ibu yang tadi menagis meraung-raung. Sampai didepan pintu UGD, dibuangnya aku kedalam tong sampah. Lalu dia masuk ke ruang tunggu UGD. Kira-kira 30 menit dia keluar dari UGD bersama lelaki yang memegangi ibu tadi. Mulai diraihnya lagi aku dari bungkusku. Lalu menghisapku sambil berjalan keangkringan. Aku dengarkan baik-baik obrolannya dengan bapak itu tadi.

“kok bisa kejadian seperti itu pak?”

“saya juga nggak tahu mas apa masalahnya, sepulang sekolah Tejo itu Cuma diam gak mau makan. Sorenya habis mandi dia itu langsung kekamarnya. Lha saya nggak tahu kalau dia itu bawa baygon kekamarnya. Nah waktu diajak makan kira-kira jam setengah delapan, Tejo sudah terkapar dikamar, mulutnya berbusa. Saya itu nggak nyangka mas. Nggak tahu apa masalahnya. Salah opo tho Gusti kulo niki, anak mung siji-siji ne lha kok ngono nasib e“ keluh bapak itu.

“yang sabar saja pak“ hibur pemuda itu lalu menghisapku lagi.

“nak budi kenapa dirumah sakit, siapa yang sakit?”

“Bapak saya, kanker paru-paru.” Jawab pemuda itu.

Lelaki tua itu hanya menarik nafas. Diambilnya dari tas pinggangnya kotak pensil. Dibukanya kotak pensil itu. Tenyata berisi tembakau. Bahan utama penyusunku. Dilintingnya tembakau itu, lalu mulai menyalakan aku. Blub, sekejab saja aku sudah berasap.

***

Kamar itu lembab dan remang-remang, asapku mengepul seolah awan-awan mendung diluar. diasbak sudah berserakan sisa-sisaku. Tangan lembut gadis ini mengapitku dengan begitu santai, music dugem mengalun dari radio butut. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka.

“belum tidur honey?” perempuan berbaju suster membuka pembicaraan.

“belum, kok udah pulang?” balasan gadis itu.

“minta izin, capek aku.” Jawab perempuan itu sembari melepas pin nama dari bajunya.

“Dewi, aku mau pulang kejakarta.”

“Lia, tega kamu ninggalin aku?”

“Dew, aku harus pulang, ada masalah”

“Bukankah kamu selalu bermasalah?”Dewi mengambilku dari tangan lia. Lalu menghisapku perlahan.

“kamu benar.” Jawabnya singkat.

Dewi merebahkan badannya disamping lia, lalu mereka saling berpelukan.

“sebentar” kata dewi. Ia menaruhku diasbak tanpa mematikannya. Lalu mereka berciuman.

“baiklah, kamu boleh pulang, tapi harus kembali.” Kata dewi.

“baik, demi kamu.” Jawab lia.

Mereka berciuman lagi.

Sementara aku terbaring diasbak, bara api menggerogotiku terus sampai akhirnya mengecil dan mati.
Sampai sekarang aku masih tak mengerti alasan mereka menghisapku. yang jelas aku teman bagi mereka. Teman dalam sepi.

No comments: