Friday, June 27, 2008

Demonstrasi

"sengaja saya buat untuk mengenang Maftuh Fauzi, mahasiswa UNAS yang meninggal karena berjuang untuk rakyat.
:selamat jalan, kami akan terus berjuang!!!"


“SBY SBY, dimana otakmu
Engkau tidak tahu, yang mana rakyatmu
Harga BBM, kau naik-naikkan
SBY SBY, ciptaan setan”

Nyanyian itu beralun bersamaan dengan langkah-langkah para
demostran.

Siang itu matahari begitu menyengat. Panasnya aspal
semakin membuat suasana menjadi panas. Mahasiswa dan polisi saling berhadapan. Mata mereka beradu. Badan mereka sudah tak terpisahkan lagi.

“kawan-kawan, ingat hari ini aksi kita adalah aksi damai” teriak sang korlap dengan megaphone mengacung.

Teriakan itu disambut dengan nyanyian dari masa.
“hati-hati, hati-hati, hati-hati provokasi”



Masa bernyanyi dengan semangat. Lalu diam kembali ketika orasi kembali dilancarkan.

Sementara orasi berlanjut, terjadi negosiasi antara demostran dengan pihak aparat.

“pak, kami hanya ingin masuk kedalam, kemudian menyampaikan tuntutan kami” kata sang negosiator.

“tidak bisa, kan disini juga bisa” jawab pak polisi yang bertubuh gemuk itu.

“saya tahu pak disini juga bisa. Tapi kan kita ingin bertemu langsung dengan bapak presiden” jelas sang negosiator.

“tetap tidak bisa” tegas pak polisi tadi.

Sang negosiator pun meninggalkan polisi itu. Ia berjalan kedepan masa aksi.

“teman-teman sekarang negosiator kita sudah ada disini, sekarang kita bisa mendengar langsung penjelasan.” Kata korlap yang satunya.

Negosiator itu mengambil megaphone dari korlap.

“teman-teman, bapak-bapak polisi tidak mengizinkan kita masuk untuk bertemu dengan presiden. Nah sekarang apakah kita harus menghentikan aksi kita sampai disini?” teriak negosiator.

“masuk!!! masuk!!! masuk!!! Masuk!!!” teriak masa aksi.

“oke, kalau memang mau masuk, pasang border!”

Selagi mahasiswa membuat border, polisi sudah bersiaga dengan segala peralatan anti huru-hara. Pentungan, helm dan tameng sudah siap sedia. Komandan polisi menginstruksikan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga.

“kalau ada yang macam-macam tarik langsung!” tegas komandan.

Polisi sudah berjalan mendekat, masa aksi pun maju. Kini badan mereka sudah bertabrakan. Aksi dorong-mendorong pun terjadi. Dorong-mendorong terjadi sekitar lima menit sebelum akhirnya para demostran terjatuh. Beberapa demostran yang terjatuh mendapat hadiah pentungan dari polisi. Ada pula demostran perempuan yang dipentung.
Demostran lari mundur. Polisi terus berusaha menarik beberapa demostran.

Setelah beberapa menit masa aksi sudah membentuk border kembali.

“polisi-polisi, dimana otakmu
Engkau tidak tahu yang mana rakyatmu
Mahasiswa aksi, kau pukul-pukuli
Polisi-polisi anti demokrasi”

Lagu itu bergaung membangkitkan semangat masa aksi.
Orasi kembali digelar.

“teman-teman, hari kita telah melihat sendiri bagaimana perilaku pemerintah kita. Ditengah krisis pangan yang melanda, harga BMM justru malah dinaikkan. Menurut kalian apakah kebijakan pemerintah ini memihak rakyat?” teriak korlap.

Masa aksi menjawab “tidak!!!”

“pak polisi, dari pada bapak mengahadang kami untuk masuk, lebih baik baik bapak bergabung dengan kami disini. Bersama-sama berjuang membela rakyat. Polisi kan juga bekerja untuk melayani rakyat bukan menyiksa rakyat. Apa bapak-bapak polisi tidak merasa kalau BBM naik, bapak juga akan bingungkan. Sementara biaya pendidikan semakin mahal, sembako juga mahal, BBM mahal. Kalau semuanya murahkan bapak juga senang. Maka ayo bergabung saja dengan kami, dari pada menjadi budak elite-elite politik busuk yang bersembunyi dibalik gedung ini.” Lanjutnya.

Bapak-bapak polisi hanya diam, sementara demonstran terus mengumandangkan yel-yel.

“sangat tidak logis kawan-kawan, Negara kita adalah Negara pengekspor minyak, tapi kenapa harga BBM didalam negeri menjadi naik. Hasilnya rakyat sengsara. Dengan alasan bahwa menyelamatkan APBN, pemerintah tega menlihat rakyat sengsara. Kita sepakat bahwa kebijakan kenaikan BBM ini adalah kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat…”

Aksi dorong-mendorong pun kembali terjadi. Lagi dan lagi, para demonstran kalang kabut menerima bogem-bogem mentah dari polisi.

Ditepi jalan banyak orang yang menonton aksi ini. Beberapa diantaranya bahkan mengambil foto sambil tertawa-tawa.

Blitz-blitz kamera bersambaran membuat pudar pandangan. Seorang demonstran berdiri dengan tegak mengibarkan bendera merah putih, lalu disambut lagu Indonesia raya.
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku…”

Readmore »»

Saturday, June 21, 2008

Rokok

Aku adalah rokok. Tak tahu mengapa orang menyebutku rokok. Tak ada filosofi yang jelas dari nama itu. Tentu kalian tahu keadaan fisikku. Berbentuk bangun tabung, biasa berwarna putih, hitam ataupun juga cokelat, terbuat dari tembakau dan beberapa ramuan lainnya. Orang menggunakan api untuk menikmatiku. Mereka menikmati kehancuranku menjadi abu.

Siang itu aku sudah terselip diantara jari-jari kecil. Seorang anak SD rupanya. Dibelakang gedung seklahan yang sudah tua. Plafonnya sudah hancur, tinggal menunggu dihinggapi kupu-kupu, rubuhlah itu pikirku. Diselipkan aku pada bibirnya yang masih merah. Diambilnya dari saku celana merahnya sebuah korek api. Dinyalakannya. Lalu terbakarlah aku. Asap pertama sudah mengepul dalam satu hisapan. Sempat dia terbatuk ketika mencoba mengeluarkan sisa pembakaranku dari hidungnya.

“sialan bener bu guru, Cuma gak buat PR aja disuruh keluar” keluhnya.

“awas aja nanti…!”lanjutnya terus ngomel.

Dihisapnya lagi aku. Dalam diam dia terus menghisapku walaupun tetap dia terbatuk-batuk ketika mengeluarkan asapku dari hidungnya. Aku tahu itu menyesakkan sekali ketika terbatuk karena asapku tertelan atau nyadet di hidung. Tapi dasar anak Bengal. Tetap saja diteruskan menghisapku.

Beberapa menit kemudian tubuhku sudah dilahap bara hingga tinggal setengah. Dia duduk menyandar pada dinding yang sudah kusam catnya. Terus saja mengomel. Terkejut aku ketika tiba-tiba satu tangan merampasku dari bocah tadi.

Ternyata bu guru yang mengusirnya dari ruang kelas karena tidak buat PR. Aku lihat anak itu mendadak jadi pucat.

“Tejo…! Kamu ini sudah tidak membuat PR, malah merokok disekolah lagi. Nakal benar kamu ini…!” bentah sang guru sambil njewer kuping bocah Bengal tadi.

“aduh…aduh…ampun bu” katanya merintih nyaris tak terdengar.

“ikut ibu kekantor” sergah sang guru itu sembari mematikan bara di ujung badanku.

Aku diletakkan diatas meja bertaplak batik. Diatas meja tertera pada papan nama SARIMANAH, Spd.

“jo…jo kamu itu kok buat masalah terus…”

Tejo hanya menunduk masih pucat.

“bosan ibu memarahi kamu, begini saja besok suruh orang tua mu menghadap ibu ya”

Tejo hanya mengangguk.

“ya sudah kamu pulang saja kerumahmu saja, tak usah ikut pelajaran hari ini.”

Tejo diam.

“Ingat orang tuamu besok harus menghadap ibu atau ibu sendiri yang akan kerumahmu” bu sarimanah mengakhiri celotehnya dan mempersilahkan tejo meninggalkan kantor guru.

Nasib malang pun menimpaku, tubuhku diremas hingga keluar semua tembakau dalam tubuhku oleh bu sarimanah, lalu membuangku ke got didepan kantor guru.

***

Pemuda berumur sekitar 25 tahunan memain-mainkan aku dijarinya tanpa menyalakan aku. Diputar-putarnya aku dijari-jarinya. Aku lihat wajahnya yang resah. Hanya menebak saja bahwa dia mengkuatirkan sesuatu. Kakinya yang dibungkus jeans hitam bergoyang-goyang seperti gemetar. Matanya melihat lantai putih bersih.

Beberapa lama baru aku sadar bahwa aku berada diruang tunggu rumah sakit ketika kulihat beberapa Suster mondar-mandir melewatiku. Kau tahu tentunya bau rumah sakit seperti bau obat.

Seorang Suster menghampiri kami. Di dada sebelah kanannya tertera namanya DEWI.

“mas kalau merokok jangan disini.” Tegur Suster itu.

Tanpa menjawab pemuda itu berdiri dan membawaku kepakiran. Duduk dia diatas motor yang diparkir. Diambilnya mancis dari saku jeans-nya, menyelipkan aku disela bibirnya lalu membakarku. Asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya.

Beberapa menit kemudian dia bangkit dari duduknya. Berjalan lagi hendak masuk rumah sakit. Masih dihisapnya aku sambil berjalan. Dia berhenti sejenak, dilihatnya ambulan yang baru saja berhenti didepan UGD. Ambulan itu dibuka. Tempat tidur besi yang biasa dipakai untuk pasien keluar dari ambulan. Disusul seorang perempuan berpakaian daster kembang-kembang, aku perkirakan ibu itu berusia 40 tahunan. Ibu itu menangis meraung-raung.

Aku dengar ibu itu menyebut sebuah nama disela tangisnya “Tejo”. Mungkin nama anaknya yang terbaring diranjang itu. Seorang lelaki berdiri disebelah ibu itu sambil memegangi bahu ibu itu.

Pemuda itu mengubah arah jalannya. Dia menuju ruang UGD. Diikutinya ibu-ibu yang tadi menagis meraung-raung. Sampai didepan pintu UGD, dibuangnya aku kedalam tong sampah. Lalu dia masuk ke ruang tunggu UGD. Kira-kira 30 menit dia keluar dari UGD bersama lelaki yang memegangi ibu tadi. Mulai diraihnya lagi aku dari bungkusku. Lalu menghisapku sambil berjalan keangkringan. Aku dengarkan baik-baik obrolannya dengan bapak itu tadi.

“kok bisa kejadian seperti itu pak?”

“saya juga nggak tahu mas apa masalahnya, sepulang sekolah Tejo itu Cuma diam gak mau makan. Sorenya habis mandi dia itu langsung kekamarnya. Lha saya nggak tahu kalau dia itu bawa baygon kekamarnya. Nah waktu diajak makan kira-kira jam setengah delapan, Tejo sudah terkapar dikamar, mulutnya berbusa. Saya itu nggak nyangka mas. Nggak tahu apa masalahnya. Salah opo tho Gusti kulo niki, anak mung siji-siji ne lha kok ngono nasib e“ keluh bapak itu.

“yang sabar saja pak“ hibur pemuda itu lalu menghisapku lagi.

“nak budi kenapa dirumah sakit, siapa yang sakit?”

“Bapak saya, kanker paru-paru.” Jawab pemuda itu.

Lelaki tua itu hanya menarik nafas. Diambilnya dari tas pinggangnya kotak pensil. Dibukanya kotak pensil itu. Tenyata berisi tembakau. Bahan utama penyusunku. Dilintingnya tembakau itu, lalu mulai menyalakan aku. Blub, sekejab saja aku sudah berasap.

***

Kamar itu lembab dan remang-remang, asapku mengepul seolah awan-awan mendung diluar. diasbak sudah berserakan sisa-sisaku. Tangan lembut gadis ini mengapitku dengan begitu santai, music dugem mengalun dari radio butut. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka.

“belum tidur honey?” perempuan berbaju suster membuka pembicaraan.

“belum, kok udah pulang?” balasan gadis itu.

“minta izin, capek aku.” Jawab perempuan itu sembari melepas pin nama dari bajunya.

“Dewi, aku mau pulang kejakarta.”

“Lia, tega kamu ninggalin aku?”

“Dew, aku harus pulang, ada masalah”

“Bukankah kamu selalu bermasalah?”Dewi mengambilku dari tangan lia. Lalu menghisapku perlahan.

“kamu benar.” Jawabnya singkat.

Dewi merebahkan badannya disamping lia, lalu mereka saling berpelukan.

“sebentar” kata dewi. Ia menaruhku diasbak tanpa mematikannya. Lalu mereka berciuman.

“baiklah, kamu boleh pulang, tapi harus kembali.” Kata dewi.

“baik, demi kamu.” Jawab lia.

Mereka berciuman lagi.

Sementara aku terbaring diasbak, bara api menggerogotiku terus sampai akhirnya mengecil dan mati.
Sampai sekarang aku masih tak mengerti alasan mereka menghisapku. yang jelas aku teman bagi mereka. Teman dalam sepi.

Readmore »»

Wednesday, June 11, 2008

Melihat dunia di balik punggung

Siang itu saya lihat hasil jepretan foto seorang teman. Diantaranya ada foto saya, sedang duduk ditepi sungai bersama dengan 2 teman. Foto itu tidak menampilkan muka kami, tapi punggung kami. Cahaya keemasan matahari yang dipantulkan air sungai membuat suasana foto itu menjadi sangat khimad.

Foto itu memang tak begitu bagus, tapi foto itu seolah menunjukan dunia lain dimata saya. Sisi lain dunia. Saya ingat beberapa kejadian yang baru terasa berarti ketika saya melihat foto ini.

Suatu ketika seorang teman perempuan mengatakan kepada kekasihnya yang hendak pergi “aku benci kau punggungi”. Muka teman saya itu tampak jadi lesu, tersirat kesedihan disenyumnya yang hambar. Sementara si laki-laki berjalan menuju halte bus, langkahnya yang semula mantap, menjadi ragu mendengar kata-kata si perempuan.

Saya hanya menerka-nerka apa yang dilihat oleh teman saya dibalik punggung sang kekasihnya. Sebuah dunia lain yang memisahkan mereka. Dunia yang hanya berisi air mata rindu. Seolah ada sekat pembatas antara dua dunia, dunia si perempuan dan dunia si laki-laki.

Si laki-laki berjalan menembus dunia lain yang tak bisa dijangkau oleh si perempuan. Perjalanan kedunia lain itu diiringi pandangan tak ikhlas si perempuan. Singkat kata saya iongin menjelaskan ada dunia kesedihan dibalik punggung si laki-laki. Kesedihan yang dirasakan oleh si perempuan dan juga si laki-laki. Dan mereka berjalan sendiri-sendiri didalam dunia yang sama, dunia kesedihan.

Saya ingat ketika saya hendak berangkat ke Yogya untuk kuliah. Saya diantar bapak ke loket bus dan kerena sudah waktunya bus jalan, saya langsung naik ke dalam bus. Sementara bapak memandangi saya. Yang terlihat tentu hanya ransel merah besar yang saya panggul.

Lagi-lagi saya menerka-nerka, bapak melihat dunia lain. Dunia yang siap menanti anak keduanya ini untuk bertarung didalamnya. Bertarung dengan dunia baru yang akan menentukan masa depan anaknya. Bapak melihat cita-cita anaknya untuk menjadi seorang sukses yang panggul dipunggung siap untuk diraih.
Ya, bapak melihat itu. Saya yakin.

Suatu malam di Tnong, tempat ngopi baru, saya duduk berhadap-hadapan dengan perempuan pujaan. Malam itu terlewatkan dengan penuh tawa. Ada moment dimana mata kami saling beradu, seolah mencoba saling membaca pikiran. Cukup lama kami beradu pandang. Yang kuingat saat itu cuma mata jernihnya yang seolah mengajak untuk berdansa dengan diiringi lagu-lagu cinta.

Selepas itu ku antar dia pulang. Didepan gerbang kosnya, kami masih saling diam. Ia turun dari motor, membuka gerbang.
“udah pulang sana” ucapnya memecah keheningan.
Aku hanya mengagguk.
Ia menutup gerbang lalu berjalan menuju pintu ruang tamu. Aku masih memperhatikannya. Ia membuka pintu lalu masuk. Aku masih diam. Ia melambaikan tangan. Kubalas dengan senyum tak jelas. Pintu tertutup. Aku melaju pulang.
Sampai dirumah, ku terima sebuah SMS dari dia.
“aku bimbang…”

Siang setelah malam itu, kami duduk berhadap-hadapan lagi disebuah tempat makan. Hanya kami berdua saat itu. Aku mulai sadar, walaupun berhadap-hadapan, aku hanya melihat punggung. Tiba-tiba ia menjadi dingin.

Tak ada yang istemewa lagi siang itu. Malam yang dingin waktu itu bisa menjadi begitu hangat, tapi siang yang panas ini menjadi begitu dingin.

Setelah siang itu semuanya berubah. Tak ada lagi mata jernih yang mengajak untuk tertawa dan berdansa. Yang kulihat hanya sebuah punggung. Dia berjalan menjauh tanpa meninggalkan senyum atau lambaian tangan. Cuma sebuah punggung, punggung yang dingin.

Kulihat sebuah dunia baru dipunggung itu. Dunia yang sepi, yang siap menerkamku. Lamat-lamat pandanganku menjadi kabur, dunia baru itu semakin mendekat. Diam adalah jalan yang terbaik saat itu, menurutku.

Readmore »»