Tuesday, July 17, 2007

mimpi anak desa (1)

Berkhayal…

Malam yang lelah, aku juga lelah, tapi tak bisa tidur…

Mungkin kamu juga tak bisa tidur sama seperti aku. Kalau memang begitu baiklah aku akan becerita tentang sebuah mimpi, khayalanku, yang semoga saja menjadi nyata. Dan ketika aku tertidur ketika menulis cerita ini, aku berharap besok atau kapanlah selagi aku masih bisa bernafas, semuanya bisa terjadi.

Berawal dari keresahan,…

Musim ini mendekati musim panas, angin bertiup kencang menggoyangakn pohon-pohon pisang dan daun-daun kelapa. Dipinggir sawah yang sudah tak ada padinya ku pandangi layang-layang yang dimainkan oleh teman-temanku. Aku tak bisa memainkan layang-layang tapi aku senang dan ingin sekali bisa bemain layang-layang. Aku punya banyak layangan, mulai dari yang sebesar tubuh ku sampai layang yang biasa dijual ditoko-toko. Layang-layang itu tidak ku beli. Tapi kubuat. Tentunya bukan murni buah tanganku. Bapakku membantuku untuk membuatnya. Terkadang aku ingin sekali seperti layang-layang dapat terbang tinggi. Kubayangkan bahwa aku yang ada diatas sana menari-nari dan bergerak bebas semauku. Semakin angina bertiup kencang semakin menjadi-jadilah aku. Tak terbayangkan betapa bahagianya hati jika bisa terbang seperti layang-layang. Aku senyum-senyum sendiri memandangi layang-layang yang meliuk-liuk diatas sana. Kadang-kadang aku berteiak-teriak memperingatkan temanku untuk berhati-hati jangan sampai layangannya kalah beradu dengan layangan yang lainnya. Saking asiknya menonton layangan kadang aku dimarahi orang tua ku karena pulang menjelang malam. Ditambah lagi dengan baju yang kotor karena berlarian mengejar layang-layang yang putus dan jatuh disawah-sawah yang masih basah. Tapi aku juga tak jera dimarahi, bahkan kadang sedikit cubit dan penyitaan layang-lanyangku.

Siang itu biasa saja aku berangkat kesekolah. Sekolahanku cukup jauh, melewati perbatasan desa. Biasanya aku diatar, tapi lebih sering jalan kaki. Aku tinggal didesa sri Agung dan sekolahanku berada di desa Bandarsari, jaraknya kira-kira 1-2 kilometer. Kelas ku selalu masuk siang karena kelasnya harus gantian dengan kelas yang lain. SD ku hanya punya 7 ruangan. 6 kelas dan satu ruang guru dan kepala sekolah. Sementara setiap jenjang kelas ada dua kelas. Misalnya kelas 2 ada kelas 2a dan 2b. jadi tidak cukup kalau harus semuanya masuk pagi. Memasuki kelas, kelas sudah ramai. Teman-temanku ramai kerkerumun dimeja bagio temanku. Penasaran, aku langsung berlari mendatangi kerumunan tersebut. Astaga ternyata bagio kesekolah membawa layang-layang. Layangan sendaren. Bukan main senangnya aku melihat layangan itu. Warnanya kuning dan merah dengan bentuk seperti pesawat terbang. Bagio dengan bangga menceritakan tentang layangnya. Dia tak senganja mendapatkan layang tersebut. Ketika dia sedang angon kambing dikebun, dia melihat ada layangan tersangkut dipohon ceri yang lumayan tinggi. Dan dia mengambil layangan itu dengan genter. Terang saja aku iri. Bagaimana dia bisa sebeuntung itu. Mendapatkan layangan senaren dnegan mudah.bayangakn saja layangan sendaren. Layangan sendaren yang dijual ditoko atau dipasar harganya berkisar Rp.500 – Rp. 1.000. orangtua ku takkan mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya itu membelikan aku layang sendaren. Meskipun mampu, mereka akan lebih memilih membelikanku majalah pelangi. Majalah pelangi adalah majalah untuk anak-anak. Khusus untuk kalangan Kristen. Aku langganan majalah itu.

Ketika jam istirahat, aku dan teman-temanku yang lain berkerumun lagi untuk mengagumi layangan sendaren bagio. Kami meminta bagio untuk meaikannya selepas pulang sekolah nanti dan bagio setuju. Seperti rencana bagio menaikan layangan tersebut. Aku berdiri disamping bagio dan beberapa teman yang lain. Sementara itu wahyu memegangi layangan. Pada hitungan ketiga bagio mulai berrusaha menarik-narik benang layangan dan dalam beberapa detik layangan sudah terbang tinggi. Aku terkagum kagum. Suara yang dikeluarkan layangan sendaren semakin membuatku girang. Bunyinya mendengung seperti bunyi kumbang kelapa. Bunyi tersebut berasal dari pita kaset bekas yang dipasangan di pucuk layangan. Diikat pada pangakal dan ujung sebuah bamboo kecil sehingga bamboo kecil tersebut melengkung dan membentuk seperti busur pabnah. Dan ketika tertiup angina pita itu akan bergetar sehingga menciptakan bunyi dengungan.

Setelah kejadian itu aku jadi kejundrungan layanagn sendaren. Sampai-sampai aku merengek meminta dibelikan pada orang tua ku. Terang saja mereka menolak. Alasannya memang masuk akal, yang petama aku sudah punya banyak layangan digudang dan tak satu pun pernah ku terbangkan. Dan kedua jelas aku tak bisa menerbangkan layangan. Dengan dua alasan tersebut akhirnya aku menyerah untuk merengek lagi. Pada hari-hari berikutnya bagio masih membawa layangan sendarennya kesekolah. Dan suatu sore ketika pulang sekolah dia menerbangkan layangannya dengan bangga, angin betiup sangat kencang dan mengakibatkan tali layangannya putus. Dan layanganya pun hilang dari pandangan. Seolah ditelan oleh awan. Bagio tampak murung. Aku lihat bahkan ia sampai menangis.

Malam itu seperti biasa, tetangga-tetangga datang kerumahku untuk nonton TV. Maklum disatu desa mungkin baru beberapa orang saja yang punya TV. Mulai bapak-bapak, ibu-ibu, samapai anak-anak duduk dengan tenang menyaksikan sinetron yang waktu itu masih gencar sekali Jin dan Jun. walaupun gambarnya tidak jernih karenan memang antenna TV ku kurang tinggi sehingga susah mendapat sinyal, mereka tetap antusias. Aku sudah tidur. Tidur lelap. Mungkin kecapekan. Sore tadi aku minta Kijan teman sebayaku yang tak lagi bersekolah mengajariku untuk menaikan layang-layang. Walaupun belum bisa, tapi aku semnagt sekali. Rumah Kijan persis disebelah rumah ku. Rumanhnya tebuat dari gedek dan lantainya tanah. Kijan teman baik ku. Dulu dia bersekolah di SD sri agung.

Aku bermimpi, aku bisa menaikan layang-layang. Aku senang sekali. Tapi karena aku menerbangkan layangan cukup tinggi dan angin semakin kencang, alhasil layangan itu putus. Aku terus mengejar, melewati sawah sawah yang keing, pohon pisang yang sudah tak berbuah lagi. Terus ku kejar. Entah apa yang ada dipikianku saat itu. Aku tahu aku hanya ingin menndapatkan layangan ku kembali. Terlebih layangan itu layangan sendaren. Tapi layangan itu terus berlalu. Dan menghilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku pulang dengan muka masam. Lalu ku ambil spidol dan kertas, ku tuliskan begini “kembalikan layangku”. Lalu ku selipkan kertas itu dibalik ragangan layanganku yang biasa. Lalu ku terbangkan tinggi, semakin tinggi, dan sengaja kulepaskan peganganku pada benang layangan. Layangan itu kembali hilang ditelan awan. Dan aku pulang ddengan muka masam, melewati sekolahanku. Sekolahanku sepi tak ada seorang temanpun. Lalu aku berlari kesawah biasa aku dan teman-temanku bermain layangan. Tempat itu juga sepi. Aku lari lagi ke lapangan rumput tempat angon sapi dan kambing. Teman-temanku berada disana dengan seragam sekolah dan memegangi tali kencang kambing dan sapi mereka. Sementara diatasnya layang-layang mereka telah putus dan menghilang ditelan awan.

Readmore »»

Saturday, July 14, 2007

Mengertilah wahai kaum hawa…

Pagi itu adalah pagi yang biasa, matahari masih tebit dari timur dan ayam jantan masih berkokok menyambutnya. Dan aku pun sama seperti biasa bangun tidur, lalu menyeduh kopi instant dan duduk manis diberanda kos-kosan menghirup sisa nafas yang masih diberikan Tuhan. Sampai pada titik dan detik ini semuanya biasa saja, sampai beberapa menit kemudian manusia dari keturunan hawa berparas bidadari itu datang. Tentu saja bukan padaku. Bukan mecari aku. Pikiranku masih tersihir oleh paras kaum hawa itu, meliuk-liuk menjelajahi segala dunia khayalku. Aku melamun…

“permisi mas, Aldo nya ada?” suara lembut keluar dari bibir yang tipis manis bidadari itu, samapai aku terpesona dan hanya bengong melihat keagungan seorang dewi khayangan tersebut.

“mas…” panggilnya lagi sambil mendekat dan melambai tanganya kedepan mukaku.

“ya..” jawabku gugup.

“aldo nya ada?”

“ada, tunggu sebentar ya…”

Aku beranjak dari kursi, dan memanggil aldo. Aldo adalah teman satu kos ku, satu universitas tapi beda fakultas. Dia cowok yang ganteng, tajir pula. Dengar-dengar cerita bapaknya salah seorang pejabat didaerah jawa barat. Kehidupannya lumayan glamour, setiap malam dugem ampe pagi. Dan pulang dalam keadaan setengah sadar.

Aku ketok pintu kamarnya,

“do…do…bangun, ada yang nyari kamu”

Ku ketok lagi pintu kamarnya lebih keras dan sedikit berteriak memanggilnya…

“do…!!! Aldo…!!!” tapi pintu juga tidak dibuka, dan tidak ada balasan dari dalam kamar.

Kaum hawa berparas bidadari itu menghampiriku dan ikut memanggil-manggil aldo.

“do..bangun…!!!”teriak nya sambil menggedor pintu.

Pintu terbuka sendiri, dari luar tampak poster kurt cobain sedang mengisap rokok dan memegang gitar terpampang pada dinding kamar yang berwana putih. Kami bedua masuk kedalam kamar aldo. Astaga…

Rumah Sakit Betesda tampak begitu sepi, lantai keramik yang kinclong dan bau obat merebak membuat aku menjadi pusing. Diruang tunggu aku duduk disebalah bidadari tadi, mukanya sekarang pucat sepucat pakain suster-suster, tidak seperti tadi pagi pagi waktu bertemu. Badannya menggigil menahan sedan. Aku sendiri cemas, semakin cemas ketika melihat bidadari itu menggigil dan semakin pucat.

“mbak tenang aja” kataku mencoba menanangkan.

Dia hanya menoleh sebentar lalu kembalu menunduk memandangi lantai rumah sakit. Pintu pavilium terbuka, pria setenagh baya keluar lengkap dengan pakaian masker dan stetoskop di lehernya.

“bagaimana Dok?” aku menyambut dokter itu sambil berdiri mendekatinya. Bidadari pucat itu sekarang ikut berdiri dan berjalan mendekati dokter itu juga.

“masa krisis sudah lewat, tapi belum siuman, mungkin baru beberapa hari bisa siuman. Kalian keluarganya?”

Aku melirik kearah bidadari pucat itu, dia pun melirikku. Wajahnya masih pucat,dan bibirnya seolah tak bisa terbuka.

“bukan dok, temen kuliah”jawabku.

Diburjo dekat kosku, bidadari itu masih pucat, kutawarkan teh hangat padanya. Dia hanya menganguk. Mas asep penjaga burjo datang mengantarkan 2 gelas teh hangat.

“mas bubur ayamnya juga…” sahutku.

“mbaknya pesen apa?” mas asep betanya.

Dia masih diam, tak menjawab.

“mbak,…” suaraku sekarang ini mulai diresponnya.

Dia melirik, lalu menegak the hangat didepannya.

“mas…bubur ayam juga” katanya dengan suara yang masih diiringi tarikan nafas yang berat.

“anggita…, pacarnya aldo” katanya sambil menengok.

“tirta, teman kosnya aldo” jawabku.

Mas asep datang tanpa suara dan meletakan dua mangkok bubur ayam dimeja.

“lebih baik dimakan dulu mbak…” kataku.

Dia hanya mengangguk angun tapi masih dengan nafas sesak.

Beberapa suapan telah mengilang didalam mulutnya. Diteguknya lagi teh hangat.

“kamu tahu kalau Aldo pemakai?” tanyanya.

“nggak tahu mbak…”

“jangan panggil mbak panggil aja gita.” Aku menganguk. Dia mulai meneruskan “sudah lama aku beri tahu Aldo untuk berhenti, tapi tetap saja makai.”

Lagi-lagi aku hanya menganguk. Mengangguk penuh ketidak mengertian.

“habis ini antar aku kekamar kosnya ya…”

Tanpa bersuara aku mengagguk lagi. Lalu kuhabiskan suapan terakhir bubur ayamku.

Kos-an ku tampak sepi, hnay ada ibu kos yang duduk di kursi ruang tamu sambil menyulam. Aku dan anggita masuk, dia hanya melirik lewat kacamata separo bulannya.

Menaiki tangga, lalu sampai lah kami di depan pintu kamar Aldo. Aku diam. Anggita masuk kedalam kamar. Entah apa yang diambilnya aku tak tahu. Yang aku tahu dia memasukan sesuatu dari lantai kedalam tasnya. Dia keluar dari kamar. Melihat wajahku yang penasaran dia langsung menjelaskan.

“suntikan Aldo, takut kalau ada polisi.”

Aku juga hanya mengangguk. Lalu memberi jalan padanya.

“sudah lama satu kos dengan Aldo?” tanyanya.

“sudah, sejak pertama masuk kuliah.” Jawabku. “silahakan duduk” kataklu sambil menunjuk kearah kursi temapat tadi pagi aku duduk saat dia datang.

Dia meraih lengan kursi dan menyeretnya sedikit. Lalu duduk. Aku masih berdiri.

“makasih udah bantuin tadi” katanya lagi tanpa menatapku.

“sama-sama, kalau kamu nggak dating, mungkin aku gak tahu kalau aldo OD.”

Dia hanya tersenyum.

Dua hari setelah itu aku dating kerumah sakit untuk menjenguk Aldo. Memasuki pavilium yang bau obat, sudah kulihat anggita duduk disebalah aldo yang sudah siuman. Aku masuk.

“ehm…”aku berdehem.

Anggita menoleh.

“masuk Ta…”sahut aldo.

“udah baikan do?”

“lumayan, mungkin 2 hari lagi aku sudah bisa pulang” jawabnya.

Aku mengambil posisi duduk disebelah anggita.

“sudah kenalkan sama anggita?” Tanya aldo.

“sudah…”jawabku singkat. Anggita meliriku sambil tersenyum.

Menit-menit berlalu dengan obrolan lepas. Sampai akhirnya seorang suster mengakhiri obrolan kami bertiga.

“jam kunjung sduah habis, besok boleh menengok lagi.” Kata suster itu ramah.

Aku dan anggita pun keluar dan disusul oleh suster.

Di depan gerbang rumah sakit kami berdua saling diam. Sampai akhirnya anggita memecahkan sendiri kediamannya.

“mau langsung pulang Ta?”

“nggak juga” jawabku.

“kita ngopi dulu yuk…!” ajak anggita.

“boleh.” Sahutku. Beberapa menit kemudian taxi berhenti didepan kami. Dan kami pun langsung melaju ke rumah kopi.

Aku duduk behadapan dengannya, di meja kecil dengan empat kursi. Rumah kopi sekarang berbeda. Dulu aku penah datang kesini, tapi tidak seperti ini. Dulu hanya ada sektar 8 meja, sekarang sudah lebih dari sepuluh, bahkan ada juga meja didekat pakiran. Desain ruangannya juga beda. Dulu dindingnya bercat hitam kopi, tapi sekarang berwana coklat, menimbulkan kesan elegan. Aku jadi ingat waktu pertama kali ke rumah kopi ini bersama devi. Aku duduk beberapa meter dari meja ku sekarang ini. Dengan capucino panas didepanku, dan devi semakin menambah aroma nikmat dari capucino itu. Aku menatapi sentumnya yang melingkar indah. Dan dia terus tersenyum…

“ta..” suara anggita menarikku dari ruang waktu ingatanku.

“ya…”

“mau pesan apa?”

“capucino hangat”

Pelayan mencacatan pesananku lalu pergi.

Kami mulai berbincang-bincang. Tak kusangka bidadari yang ada didepanku ini adalah peempuan yang lucu. Bebeapa joke terlempar ari mulutnya yang melengkung tipis membuat aku terbahak. Siapa sangka. Aku kira dia adalah gadis yang pendiam dan anggun. Ternyata dia juga sama dengan gadis yang lain. Suka gossip. Beberapa gossip tentang artis juga menjadi bahan pembicaran kami. Meski pun aku tidak tahu apa dia ceritakan, aku tetap juga menganguk dan tersenyum.

Sampai saatnya dia seperti kehabisan bahan pembicaraan, dia mulai membuka pembicaraan tentang hubungannya dengan Aldo. Dia mulai bercerita :

“Tahu nggak, tempat ini pertama kali aku kencan sama aldo. Dulu dia baik sekali, sekarang pun masih baik. Tapi tidak sepeti dulu. Sekarang sejak dia makai, mulai berubah. Aku sudah berkali-kali mengatakan pada nya untuk berhenti makai, tapi tak pernah digubrisnya. Samapai berkali-kali aku mengatakan itu, tapi tetap saja makai. Aku capek. Penah dia bilang akan berhenti, tapi toh sekarang terbukti, dia beum berubah. Tetap makai. Dan sekarang OD…, menurut mu aku harus gimnan Ta?”

Aku diam, takut untuk menjawab.

“ya,…sakit banget saranya….” Semakin lama ceritanya semakin meluap menjadi sedan.

“udah jangan nagis. Udah malam, baiknya kita pulang aja.”

Jam sudah menunjukan pukul 20.23. aku menghentikan taxi dan ikut mengantarnya sampai dikosnya.

Samapai depan kosnya dia turun dan aku juga.

“Ta…mampir dulu ya…aku butuh teman ngobrol” pintanya.

Aku menolak, tapi lama kelamaan aku tak sanggup melihat genangan air yang masih ada di matanya. Dan ku putuskan untuk singgah sebentar. Aku dan dia duduk diruang tamu kosnya. Dia mulai bercerita lagi. Cerita yang sama dengan ceritanya dirumah kopi beberapa menit yang lalu. Tapi kali ini di benar-benar menangis. Dia kemudian menagis dipundakku. Aku bingung. Lalu ku dekap saja tubuhnya dalam pelukanku. Isaknay semakin samam semakin tak terdengar. Dia tegakkan kepalanya. Memandangku. Enatah bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Tanpa sadar bibir kami sudah menyatu. Beberapa detik aku belingsatan.

“maaf” kataku.

Dia tak menjawab, masih diam.

“baiknya aku pulang.”

Aku langsung keluar dari ruangn tamu kosnya. Aku berjalan sepanjang trotoar, ada perasaan senang tapi juga bersalah. “dia pacar temanku”kataku dalam hati.

Pagi itu seperti biasa aku duduk dikursi beranda sambil menyerup kopi instant. Sudah kulpuakan kejadian itu. Aku anggap tak pernah terjadi. Sebuah taxi kulihat berhenti didepan halaman. Aldo rupanya sudah pulang dari rumah sakit. Di berjalan menaiki tangga bersama anggita. Aku bangkit berdiri menyambut dengan senyum kearah aldo. Aldo memdekatiku, layangakn tinjunya ke muka sampai aku nyaris pingsan. Kepalaku terasa berat. Sayup-sayup ku dengan suara anggita.

“maaf Ta…”

Readmore »»

Thursday, July 5, 2007

Anak kecil minta antar pulang…(Humanis)

Sore ini kusempatkan untuk menengok sedikit keadaan kampus tercinta yang semakin lama semakin sepi karena liburan. Mampir dulu beli senar gitar, lalu melaju lagi ke kampus ekspresi. Dipertigaan Demangan-Colombo, berhenti karena lampu merah. Seperti biasa anak-anak (pengemis-red) menghampiri, salah satunya perempuan yang kira-kira berusia 9-11 tahun dengan kaos agak kebesaran dan sudah kumal tentunya. Dalam hati sudah menduga "ne anak bakalan minta uang dengan alasan buat makan". Semakin lama semakin mendekat, dengan sepele ku pasang tampang kasihan tak berdaya, sambil mengisyaratkan tidak ada uang receh. Namun tenyata salah dugaanku,

“mas numpang sampai ring road ya?” tutur bocah itu sembari menuju belakang motor hendak langsung naik.

“maaf nggak kearah ring road aku” jawabku gugup.

Lampu hijau menyala, aku mulai ngegas, sepintas berdesir juga darah ini, ada perasaan bersalah melihat wajah anak tadi sedikit memelas. Sempat terbesit untuk berhenti dan menawarinya tumpangan, tapi tenyata memang pintu neraka lebih lebar dari pintu surga.
Kejadian itu mengingatkanku pada saat aku terdampar dipalembang kira-kira 2 tahun yang lalu. Ketika itu aku hendak mencari kampus STAN, karena buta sama sekali dengan wilayah palembang tak tahu mau naik bus apa, nekat saja aku ke pos polisi untuk minta antar ke kampus STAN. Dengan ransel besar dipundak, sedikit letih karena perjalanan 2 jam dari betung ke pelembang menuju ke pos polisi.

“pak kampus STAN dimana? bisa minta tolong antar gak pak?” tanyaku dengan polos kepolisi yang jaga.

Tapi polisi itu hnaya menjelaskan kalau mau ke kampus STAN naik bis Km.12, nanti turun di Km.5.
Sungguh perih rasanya mendengar jawaban pak polisi itu. Mau nangis sudah aku, dan akhirnya ku putuskan coba naik bis seperti yang jelaskan pak polisi tadi, tapi naas aku tetap nyasar. Alhasil sore ketika matahari mulai bersembunyi,ku putuskan untuk ke tempat om bambang teman bapakku.
Aku pikir-pikir mungkin sama perasaan anak tadi dengan persaan saat dipalemabang dulu. Pedih, ingin nangis, pokoknya tidak mengenakkan. Jadi merasa berdosa aku, membiarkan sesuatu yang buruk yang pernah menimpaku terjadi lagi pada orang lain. Harusnya aku bisa mencegah.
Masih heran juga aku dengan gembar-gembor orang tentang “humanisme”. Beberapa waktu yang lalu aku membaca disuratkabar KR sebuah artikel tentang humanisme. Dan bahkan seorang teman juga menulis tentang humanisme di EXPEDISI. Malu seharusnya orang-orang seperti aku yang juga meneriakkan HUMANISME tapi pada kenyataannya tak bisa berbuat apa-apa.
Ada yang menarik yang aku tangkap dari kejadian tadi. Kepercayaan dan harapan. Anak itu percaya bahwa masih akan ada orang yang mau memberi dia tumpangan, dan berharap akan ada orang yang seperti itu. Entah itu suatu kepolosan atau karena terdesak atau memang hanya rekayasa untuk ngemis. Kalau itu adalah suatu kepolosan sangat perlu dibanggakan. Sudah lama tak pernah lagi kudengar ada seseorang menyetop kendaraan orang yang tidak dikenal untuk nebeng pulang kerumah.

balik lagi ngomong soal humanis, kabarnya UNY sekarang pake semboyan kampus humanis, perlu dipertanyakan pula sisi humanis yang seperti apa?
apa dengan meloloskan RUU BHP adalah tindakan humanis?
ah tak tahu lah...
yang jelas ada sesuatu yang perlu di ubah...

perubahan yang sama digaungkan oleh kaum maxisme, sejarah berahkir dengan masyarakat tanpa kelas... semoga...

Readmore »»