Thursday, April 8, 2010

Meleburlah!

Ini keping uang
Roti sekepal dimakan kecoa gila
Berderetlah ia bersama mereka
Meruntuhkan Jeriko
Genap dan ganjil menjadi kentara
Hei kau!
Meleburlah!
Jibril dan Lucifer telah mati!


Readmore »»

Tuhan Tak Datang Lagi

Pagi ini benar-baner berharap Tuhan akan datang ke rumahku. Tapi sampai sore hari Ia tak kuncung muncul juga. Ini sudah keempat kalinya aku mengundangnya untuk datang, namun Ia tak datang jua.

Kali pertama aku mengundang-Nya tepat empat tahun yang lalu. Dalam undangan yang ku kirim, aku minta Ia datang kerumahku pada hari sabtu sore, empat hari setelah Natal empat tahun yang lalu. Ia tak datang jua sampai hari berganti. Aku bisa paham, mungkin Ia sangat sibuk dengan urusan lain atau mungkin ada undangan yang lebih penting. Maklum juga, masih dalam suasana Natal, pasti banyak undangan buat-Nya.

Kemudian aku bermaksud mengundangnya lagi. Barang kali Ia bisa meluangkan waktunya pada undanganku yang kedua. Aku merencanakan masak-masak undangan kedua ini. Aku mengirimnya lebih cepat dari undangan pertama. Undangan pertama ku kirim satu bulan sebelumnya, dan untuk yang undangan yang kedua, ku kirim enam bulan sebelumya, berharap asistennya bisa memasukkan kedalam agenda semesteran-Nya.

Dengan optimis aku menunggu kedatangannya. Aku sengaja menyisakan sedikit uang gajiku untuk sekadar membelikan kue yang enak untuk disuguhkan ketika Ia datang. Di amben rumah ku tunggu Dia, di dapur, kue sudah ku siapkan lengkap dengan teh celup sariwangi yang sering ku lihat iklannya ketika nonton tv dirumah tetangga. Namun sampai larut malam dan aku ketiduran di amben Ia tak datang juga.

Paginya, dengan sedikit kesal ku jual lagi kue yang ku siapkan untuknya. Sayang bagiku untuk memakan kue itu. Terlalu mahal dan enak untuk melewati tenggorokanku. Beruntung tetanggaku mau membeli kue itu. Hasil jual kue itu ku berikan pada ibu untuk beli beras. Dengan kesal aku bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa Ia tak datang. Ku periksa alamat rumah-Nya yang ku catat pada sebuah kertas. Alamatnya benar, dan aku tak mungkin salah menyalin pada amplop surat.

"Jalan Raya Surga, gang keslamatan no. 1 A, Surga 57031," ku eja alamat dikertas itu. Aku mengangguk-angguk sendiri, berpikir mungkin alamat itu susah dicari pak pos, sehingga tidak sampai. "Namun kenapa pak pos tidak mengirimkan kembali surat itu jika tidak sampai ke alamat," gumamku.

Setelah itu aku berhenti sejenak berpikir untuk mengundang Ia datang kerumah. Aku harus berpikir ujian semester yang tinggal tiga minggu lagi. Aku berencana akan mengundang-Nya lagi dengan trik baru supaya Ia datang. Namun itu tak ku lakukan setelah selesai ujian semester. Ibu mendadak sakit dan dirawat dirumah sakit tiga hari. Aku sudah tidak lagi sempat memikirkan undangan, yang ku pikirkan adalah bagaimana membantu ayah mencari uang untuk membayar biaya ibu dirumah sakit.

Selama satu bulan total aku tak masuk sekolah, aku putuskan untuk ikut ayah melaut. Pikirku, paling tidak dengan tambahan personil untuk menjala ikan, mungkin akan dapat banyak ikan dan bisa mendapat banyak uang. Namun na'as, bulan ini cuaca tidak menentu, justru kami hanya mendapat sedikit ikan. Akhirnya, karena desakan rumah sakit untuk segera membayar biaya rumah sakit, ayah memutuskan untuk menjual kapal tongkang warisan kakek yang biasa kami pakai melaut untuk membayar biaya rumah sakit dan berobat jalan ibu.

Tiga bulan setelah itu, kakakku perempuan yang semula hanya bekerja buruh cuci, kabur dari rumah. menurut cerita teman-temannya yang masih sering berkomunikasi dengannya, ia sekarang berada di Singapura bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ya memang setelah itu, rutin setiap bulan seorang teman kakakku memberikan kami uang. Katanya uang ini titipan dari kakakku yang dikirim lewat rekening bank miliknya. Maklum saja kami tak punya tabungan ataupun rekening di bank.

Setelah kondisi ibu sudah membaik, aku barulah mulai berpikir untuk mengirim undangan kepada-Nya lagi. Kali ini surat ku ketik dengan komputer. Setelah ku lihat-lihat tulisan tanganku jelek sekali, mungkin Ia tak bisa membaca tulisanku yang ruwet itu sehingga tidak datang. Dengan percaya diri, ku kirim lagi surat undangan ketiga.

Dalam surat yang ku ketik resmi itu ku cantumkan tembusan kepada Pendeta dan Majelis Gereja setempat. Harapanku paling tidak jika ada tembusan ke Pendeta dan Majelis Gereja setempat, Ia akan mempertimbangkan untuk datang ke rumahku.

Dengan baju koko pemberian seorang haji di dekat rumahku (aku heran pada haji ini, meski ia tahu kami berbeda keyakinan dengannya, pada saat natal ia memberikan kami sekeluarga bingkisan berisi busana muslim dan alat sholat, awalnya ibu tersinggung, tapi kami mengambil hikmahnya saja, kami dapat pakaian baru), ku tunggu Ia di teras rumah. Setelah dua setengah jam menunggu, aku mulai resah. Setelah jalanan mulai sepi, aku mulai menghapus harapanku bahwa Ia akan datang. Ia benar-benar tak datang (lagi).

Beberapa minggu setelah itu, ayah pergi dari rumah. Menjadi buruh disini tidaklah mendapat cukup banyak uang untuk kami. Ayah pergi kekota untuk mencari uang disana. Sementara itu ibu kembali sakit-sakitan. Aku pun akhirnya berhenti sekolah dan menjadi buruh angkut di toko milik pak haji yang aneh itu.

Genap enam bulan sudah ayah pergi, kami dirumah tak tahu kabar ayah sama sekali. Hanya sekali-sekali adikku bercerita bahwa ayah baik-baik saja. Ku tanya darimana ia tahu kabar ayah, ia menjawab bahwa ayah pernah menemuinya dalam mimpi.

"Ayah sehat kok, tadi malam ketemu dimimpi," katanya.

Aku hanya mengiyakan saja kata adikku itu. Lalu ku katakan padanya, "kelak jika kau telah dewasa, jadilah laki-laki yang hebat seperti ayah."

"iya kak, aku akan jadi laki-laki hebat seperti ayah," jawabnya dengan semangat sembari mengacungkan jempol bergaya seperti kartun naruto kesukaannya.

Sekitar lebih satu tahun kemudian, aku terpikir ide untuk mengundang Tuhan mampir kerumahku lagi. Kali ini dalam surat ku ceritakan tentang ibuku yang sakit-sakitan, ayahku tak ada kabar, kakakku yang tak ada kabar lagi selain uang bulanan yang dititip lewat temannya, dan juga adikku yang masih kecil yang penuh semangat dan cita-cita. Ini adalah trikku untuk memastikan Ia akan datang. Aku berpikir, ia akan iba mendengar ceritaku dan akan datang kerumahku. Kali inipun aku mengundangnya datang jam berapa pun, berharap Ia ada waktu di sela kesibukannya untuk sekadar mampir barang lima menit.

Pagi-pagi aku sudah mandi dan menyiapkan kopi instan untuk-Nya. Pagi hari adalah waktu yang enak untuk menyerup kopi, aku yakin Ia akan menyukainya. Aku sengaja izin tak kerja untuk menunggu-Nya seharian ini. Hari sudah siang dan perutku sudah mulai keroncongan, ku sempatkan makan dahulu lalu bersiaga di depan rumah menunggu-Nya.

Sampai sore hari tak muncul juga batang hidung-Nya. Kira-kira pukul delapan malam, ketika ku dengar ibu batuk-batuk lagi, aku masuk kedalam rumah. Setelah keempat kalinya aku mengundang Ia datang kerumah, Ia tak datang jua. Meski aku sudah jengkel karena Ia tak pernah datang, aku masih berpikir positif.

"Mungkin rumahku terlalu sulit untuk ditemukan dan Ia tersesat dijalan," kataku dalam hati.

Readmore »»