Thursday, April 2, 2009

Maaf

: Dee


“Ya! Cuma!”

“Cuma apa?”

“aku cuma ingin memakimu!”

“kalau begitu maki saja!”



Ia berdiri, meninggalkan sepatah kata yang cukup menyakitkan. Menyakitkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Punggungnya sudah melewati pintu, lalu membanting pintu tanpa mengucapkan apa-apa. Menolehpun tidak.

Satu minggu lamanya ia menghilang, tak lagi ia muncul. Kecuali dalam pikiranku. Kopi yang ku buat sore tadi sudah dingin. Angin telah mencuri kehangatan dan anjing tetanggaku membuat suasana menjadi semakin kacau. Aku jadi berpikir bahwa anjing itu yang menyebabkan ia tak muncul lagi. Padahal, jam segini biasanya ia ada disini, menikmati kopi sambil membaca koran lalu mengomentari hal-hal yang tidak penting. Dasar anjing sialan! Akan ku racun besok, supaya tak menggonggong lagi, dan ia segera kembali.

Suara deru motor memasuki halaman, aku langsung bergegas membuka pintu. Pak pos ternyata.


“tumben ada pos datang”
kataku.


Pak pos memberikan surat beramplop putih polos itu. Lalu pergi begitu saja. Surat itu tak jelas pengirimnya. Hanya diamplopnya tertulis :


buat kau yang sedang duduk dikursi malas, ditemani kopi yang sudah dingin.


Ku buka surat itu. Ada dua lembar kertas didalamnya. Dua lembar kertas itu kosong, tak ada tulisan sama sekali. Aku membolak-balik kertas itu, berharap ada satu kata ataupun satu huruf yang bisa menjelaskan maksud surat ini. Ku ambil lilin didapur, lalu menyalakannya. Ku dekatkan kertas itu ke lilin, lalu mencoba menerawang kertas tersebut (aku sering melihat ini dalam film-film detektif) siapa tahu ada tulisan yang hanya bisa dilihat dalam cahaya.

Nihil! Tak ada apa-apa dalam dua kertas tersebut. Hari sudah menjadi gelap, aku menyalakan tv berharap ada berita tentang keberadaanmu. Aku benar-benar berharap. Sekali lagi nihil! Tak ada apa-apa, malahan tv-ku eror. Layarnya dikerubungi bintik-bintik hitam dan putih. Mungkin karena antenanya sudah rusak atau sedang ada gangguan. Tapi tak ku pikirkan itu. Aku sedang berpikir kau ada dimana. Tak peduli tv-ku rusak atau eror atau apalah.

Lamat-lamat langit sudah menjadi gelap*, ku niatkan untuk segera tidur saja. Kubawa surat itu kekamar, lalu kuletakan di meja disamping tempat tidur. Jendela ku tutup, lalu lampu ku matikan. Hanya cahaya redup dari luar yang singgah dikamarku. Tiba-tiba kulihat sesuatu yang bersinar diatas meja, surat itu menyala hijau. Langsung kusambar surat itu, kulihat lembar pertama surat itu.


hei,… aku tahu ketika kau membaca surat ini, kau pasti ada dikamar. Dan maaf kalau membuatmu terkejut atau bingung. Aku cuma,… ah, aku tak tega menuliskan kata itu,… maaf,…


“ini surat dari dia ternyata” kataku dalam hati.

“tapi apa maksudnya?”

“Cuma apa?”

Ku baca lembar kedua,

Maaf,…



Hanya kata itu yang tertera di kertas lembar kedua surat. Aku jadi semakin bingung. Lambat laun cahaya dari kertas tersebut redup dan mati, tulisan itupun menghilang.

Aku diam, suasana menjadi semakin sunyi. Cuma anjing tetangga bego itu yang terus menggonggong. Aku terus berpikir, apa maksud dari surat yang ia sampaikan. Aku mengerti ia memang suka membuat sesuatu menjadi misterius dan rahasia, dan beberapa kali ia sudah melakukannya padaku, seperti waktu itu, tiba-tiba seekor burung merpati datang membawa sebungkus coklat dikakinya, mematuk dahiku sampai aku terbangun. Dan baru tiga hari setelah itu aku tahu, bahwa ia yang mengirimkan burung merpati itu. Tapi teka-teki yang ini, aku sungguh tak paham.

Ku putuskan untuk keluar rumah, siapa tahu angin yang dingin ini justru memberi petunjuk. Jalanan terasa sangat sepi, meski masih ada beberapa orang yang seliweran dan beberapa penjual jagung bakar masih menggelar tikar. Sesampai didekat taman kota, aku baru sadar bahwa aku tak memakai alas kaki. Bodohnya aku.

Aku duduk agak jauh dari kumpulan anak-anak yang sedang belajar nakal : menegak alkhol sambil merokok. Bukan karena takut, tapi hanya berjaga-jaga. Terkadang anak-anak kampung kalau mabuk resek, pernah temanku di keroyok hanya gara-gara mau pinjam korek api.

Rumput ini terasa sangat lembab, kakiku mulai terasa dingin, aku sandarkan badanku pada pohon palem, lalu memikirkan maksud surat tadi. “apa maksudmu?” kataku dalam hati. Aku merasa menjadi sangat melankolis. Aku benci saat seperti ini.

Dalam beberapa menit, mataku sudah tak bisa lagi terbuka dengan sempurna. Udara yang dingin ini terasa membuat sekujur badanku lemas. Rumput-rumput meliuk-liuk beriringan searah angin berhembus, menari, sebuah tarian yang membuat bulu-bulu menjadi merinding. Dan bulan yang sendu itu membuat hatiku menjadi sangat galau.

Tiba-tiba sesosok bidadari turun dari bulan yang sendu itu. Ia tampak bersinar. Perlahan-lahan ia mendekatiku, dan aku hanya memandanginya, semakin mendekat. Matanya coklat, menyala penuh dengan kehangatan, dipandanginya aku dengan belaskasihan, sekujur badanku yang dingin pelahan menjadi hangat. Lalu Ia mengulurkan tangan, meraih tanganku.

Dielusnya tanganku, lalu diangkatnya. Tubuhku terasa menjadi begitu ringan. Tak sadar, aku sudah melayang diatas rerumputan yang lembab. Makin lama aku melayang makin tinggi. Bidadari itu tetap memegang tanganku, tersenyum penuh makna. Aku hanya mengangguk meski tak tahu apa arti senyumannya itu. Makin lama lampu jalanan hanya terlihat seperti titik cahaya. Bidadari tu membawaku ke bulan.

Sesampainya dibulan, aku melihat banyak sekali jendela. Bidadari itu menuntunku menuju satu jendela. Aku kenal sekali dengan bentuk jedela ini. Cat warna coklat tua dan tirai kuning itu, ya, aku benar-benar mengenalnya. Ini jendela rumahku. Bidadari itu memintaku untuk membuka jendela itu. Betapa terkejutnya aku, ku lihat sekeliling dan dalam rumahku lewat jendela ini. Mug kopi yang sudah dicuri kehangatannya oleh angin, masih tergeletak diatas meja.

Tak lama kulihat pintu rumah terbuka. Ia masuk, melihat sekeliling rumah. Setelah didapati rumah kosong, ia duduk di kursi malas. Termenung. Dagunya ditopang dengan tangan kiri dan tangan kanan meraih mug kopi itu. Aku melihatnya begitu dekat seperti hanya dari balik jendela rumah. Pintu dibiarkannya terbuka dan angin tak segan-segan untuk masuk dan menggoyang-goyangkan pintu.

Tiba-tiba ia berdiri, berjalan ke arah jendela. Ia menyandarkan sikunya pada kusen jendela. Ia ambil kacamata dari saku, lalu mengenakannya. Ia tampak begitu cantik. Ia terasa begitu dekat. Bisa kulihat jelas raut mukanya secara detail. Aku tahu ia hanya melihat bulan yang sendu, ia tidak melihatku sebgaimana aku bisa melihatnya secara jelas.


“bulan yang sendu, maukah kau membantuku?” katanya.

“tolong sampaikan dimanapun ia berada, bahwa aku berada disini” sambungnya.


Matanya terlihat sangat mengiba dan berkaca-kaca, perlahan air matanya menetes, menelusuri pipinya.

Bidadari itu mendekatiku.


“katakan apa yang ingin kau katakan padanya!” kata bidadari itu.


Aku hanya mengangguk. Kulihat air mata masih terus mengalir dari matanya.


“maaf,…”

Readmore »»