Friday, April 29, 2011

Dehidrasi

Mulutku mendadak menjadi terasa kering. Kelenjar ludahku tak lagi memproduksi air liur untuk membasahi tenggorokan mulut dan bibir. Lidahku menjadi begitu keras dan kaku, serasa seperti ikan yang semula segar dijemur diterik matahari selama 3 hari, hingga menjadi kering, keras dan renyah setelah masuk penggorengan.

Kepalaku mulai pening, berat serasa dipukul dengan tongkat baseball tepat ditengkuk. Bulu kuduk merinding, tak ada keringat yang keluar dari pori-pori. Tanganku menjadi begitu kesat dan kasar. Aku sudah mencoba untuk membasahi tanganku dengan air kran, namun tak juga mengurangi kerutnya.

Gelas sudah ku pegang erat, menggedor pintu-pintu rumah untuk meminta air minum. Sayang hari telah larut malam, orang-orang tak peduli lagi dengan ketukan pintu. Apalagi besok adalah hari senin, pekerjaan telah menanti bagi semua orang yang bekerja, tumpukan tugas kuliah dan jadwal ujian yang padat sudah menanti para mahasiswa.

Toko diujung jalan kampung yang biasa buku hingga larut malam, sudah tutup. Aneh sekali, ini baru pukul 01.00 pagi, biasanya hingga pukul tiga pagi, ketika aku pulang lembur, toko itu masih buka.

Aku pasrah saja, biarlah terasa terus sakit ini hingga besok pagi. Lambung kananku mulai terasa nyeri. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Nyeri itu kemudian merambat ketengah perut dan sisi kiri.

Kulihat dua orang berjalan kearahku. Mereka warga yang ronda keliling.

“Mau apa mas malam-malam gini bawa gelas?”

“Haus pak, kehabisan air minum,” jawabku dengan kesulitan, karena lidah menjadi benar-benar sulit digerakkan.

“Ikut kami ke pos aja mas, ada minum,” bapak yang menggunakan sarung hijau kotak-kotak.

Tanpa pikir panjang aku mengikuti mereka ke pos ronda.

“Sini mas gelasnya,” kata yang satunya. Akupun memberikan gelas ditanganku.

“Kopinya masih hangat, tapi agak pahit mas, maklum gula mahal,” tukasnya sembari menuangkan kopi kedalam gelas.

“wah, air putih ndak ada pak?” sahutku.

“Ada mas, kalau air putih itu di ceret, langsung aja di glegek mas?” bapak itu menjawab sambil menunjuk ceret putih dipojok pos.

Aku mengamati ceret itu sebentar. “itu air mereknya ya pak?” tanyaku lagi.

“Air sumur biasa kok mas, direbus biasa,” jawab bapak yang satunya lagi, “kalau mau air kemasan, beli dijalan besar aja mas,” lanjutnya agak jengkel.

“Oh, ya sudah pak, makasih, saya tak ke depan saja,” tandasku agak sedikit rikuh.

Aku pun berjalan keluar gang. Diseberang jalan ada kios kecil. Aku langsung menyeberang jalan, menuju kios itu.

“Mas, mas, bangun, beli Akua?” kataku sambil mengetok-ketok toples permen. Penjual itu langsung bangun dan mengambil botol minuman.

“Dua ribu mas,”tukasnya sambil mengusap matanya.

Aku mengeluarkan uang dua ribu dari kantongku lalu memberikannya pada penjual itu. Ku ambil botol ditangannya.

“Lho mas, ini bukan Akua, saya maunya Akua je,” kataku dengan sedikit kaget ketika melihat merek air kemasan itu, “ini apa? Agua-gue? Merek apa ne?” lanjutku.

“Ah mas sama saja, sama-sama air,”jawab penjual itu sekenanya.

“Ya beda, ini nggak jadi aja,” sahutku sambil menaruh Agua-gue diatas toples permen.

“barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Ndak usah cari perkara ya, wis mbengi iki!” jawab penjual itu dengan nada menantang. Tak mau ambil pusing, ku tinggalkan saja, Agua-gue diatas toples dan uang dua ribuku ku ikhlaskan. “Lagian nggak lucu berkelahi sama penjaga kios gara-gara dua ribu,” kataku dalam hati.

“Kae lho neng pojokkan ono mini market su!” teriak pejual itu yang malah emosi ketika ku tinggalkan begitu saja. Karena takut penjual itu mengejar, aku pun lari sepanjang trotoar.

Badanku bertambah lemas. Tepat didepan mini market 24 jam, aku berhenti dan berdiri dengan nafas tersengal-sengal. Aku melongok kedalam mini market, lalu langsung berdiri gesit mendorong pintu, menuju kulkas berisi minum kemasan, menyambar merek akua, langsung membukanya, merapatkan mulut botol pada mulutku yang sudah kering, meneguknya dengan beringas.

Mengalirlah dalam tubuhku ini, air segar dari mata air dan air mata petani yang malam ini tidur sembari menahan lapar. Seteguk demi seteguk tenggorokanku mulai basah, segar, bibirku mulai kembali lembab, dahagaku hilang. Botol pertama telah habis, namun terasa belum puas.

Ku sabet satu botol lagi. Kali ini aku meneguknya dengan perlahan. Tiap tegukan ku nikmati air segar ini melewati tenggorokanku. Tegukan pertama, sawah-sawah petani kering. Tegukan kedua, petani air semakin miskin. Tegukan ketika, lereng gunung dan sumber mata air mulai rusak. Dan seterusnya. Pada tegukan terakhir, aku tubuh penuh dengan kembali segar, mereka, para petani dan masyarakat disekitar mata air semakin kering. Dehidrasi.

Readmore »»