Thursday, March 11, 2010

Bagi kebanyakan orang bahkan beberapa agama dan kepercayaan, hujan adalah berkat dari Sang Yang Widi. Bukan hanya simbol belaka, tapi benar-benar sebuah berkat. Meski begitu tidak semua hujan adalah berkat! Karena terlalu sering hujan pun berbahaya.

Bagi para penganut Taoisme, segalanya yang ada di dunia ini haruslah seimbang. Keseimbangan ini yang mereka sebut sebagai Yin dan Yang. Begitu pula hujan, ia menjadi bagian keseimbangan itu. Jika ia berlebihan maka akan terjadi ketidakseimbangan, yang bisa diartikan bencana.

Hari itu diselatan awan hitam sudah menggumpal, warna hitam itu semakin mengisyarakatkan bahwa ia sudah tak tahan lagi untuk memuntahkan hujan. Persis seperti seorang temanku dalam perjalanan ini yang menahan mabuk darat sampai mukanya pucat.
Duduk di deretan paling belakang, dekat jendela, aku duduk anteng sembari mengamati pohon-pohon dan rumah penduduk yang seperti lari kebelakang dengan cepat dan bus yang ku naiki ini diam statis. Sebuah tipuan mata yang sangat menyenangkan. Semua orang lah yang berjalan meninggalkan aku yang seolah berdiri diam. Menjadi tak ada beban bahwa bukan aku yang harus meninggalkan. Meninggalkan rasanya seperti beban berat yang harus ditanggung sampai mati.

lamat-lamat hujan sudah menyambangi jedela bus. Ia menyapa dengan getir lewat dingin yang dihantarkan melalui kaca jendela, yang kemudian membelai pipiku yang menempel pada jendela. Ya, ia begitu mesra. Seperti perempuan yang menunggu di seberang sana, berharap aku membawakan oleh-oleh sebotol arak bali.

Aku menegakkan kepala. Sepintas tetes hujan seperti anak panah yang berusaha menyerang ku. Entahlah, ia tampak ganas menghujam jendela bus ini. Beberapa saat setelah ku amati, jejak yang ditinggal hujan pada kaca jendela ini seperti sebuah tanda. Aku sendiri tak tahu tanda apa. Aku bukan ahli air yang bisa membaca tanda-tanda.

Pernah ku ketahui ada seorang Romo di Magelang yang bisa sangat paham soal air. Bahkan ia mampu mengidentifikasi air berdasarkan jenis kelamin. Ada air pria dan air wanita. Ia mengawinkan air tersebut untuk menghasilkan air yang baik. Ia mampu membaca tanda-tanda yang disampaikan oleh air. mungkin setelah ini aku harus belajar padanya.

Jejak air itu mebentuk jejak seperti huruf E, tapi bedanya ada garis yang membujur tepat pada ujung garis bawah, tengah dan pangkal. Kemudian berganti menjadi seperti lingkaran tidak sempurna. Lalu berubah-ubah hingga Fajar yang mulai letih bersinar mengaburkan tanda-tanda itu pada jendela.

Tapi apapun itu, hujan kali ini terasa sangat getir. Orang yang tidak peka seperti aku saja bisa merasakannya, apa lagi orang lain. Kondisi Bus tenang. Suara pemandu wisata yang sedari tadi menggema tak terdengar lagi. Aku cukup takjub, kenapa bisa menjadi hening, mungkin malaikat sedang menyambangi bus kami untuk absen terakhir sebelum ganti shift. hehehe...

Sesampai di Hotel (dengan perasaan jengkel pada jasa pariwisata yang pernah janji bahwa hotel di tengah kota, tapi kenyataannya di pinggiran kota yang pada pukul 22.00 toko-toko sudah tutup) aku meniatkan diri untuk berenang, barangkali air bisa menghilangkan jengkelku.

Dari atas kolam renang, bulan malu-malu mengintip kami yang bertelanjang dada. Namun setelah agak lama ini terang-terangan menonton kami yang sedang berenang. Ia seperti Jaka Tarup yang mengintip para bidadari khayangan mandi di air terjun. Meski aku tahu, girahnya tidak sebesar gairah Jaka Tarub ketika mengintip para Bidadari.

Bulan disini tampak murung, ia tidak seperti bulan di desa ku di padang ratu yang selalu tersenyum lebar setiap malam, menemani kami anak-anak kecil yang bermain petak umpet selepas mahgrib. Angin disini bercerita bahwa bulan disini baru saja kehilangan anaknya semata wayang. Ia terpaksa mengirimkan anaknya ke planet lain, kerena takut Kala akan memakan anaknya juga.

Bulan yang murung itu akhirnya memutuskan untuk bercerita padaku. Pertama-tama mengucapkan terima kasih padaku untuk kesediaanku datang menjumpainya. Ternyata, ia yang meminta hujan mengirimkan tanda padaku, untuk mengunjunginya malam ini.

Aku sebenarnya tak habis pikir, kenapa aku. Usut punya usut, ternyata karena kesamaan namaku dengan Dewa yang diyakini paling bijak diantara semua Dewa yang ada. Aku hanya bisa nyengir ketika ia menyampaikan alasan itu. Sial, seandainya Bapakku bukan penggemar wayang, mungkin aku tidak harus mendengar curhat bulan murung ini.

Setelah panjang lebar ia bercerita, akhirnya ada satu kesimpulan. Ia memintaku untuk bernegosiasi dengan Kala, supaya tidak mengejar anak sang Bulan itu. Dan bodohnya, aku mengiyakan. Ia kemudian menyuruhku menenggelamkan sebaruh badanku di air, kemudian memejamkan mata. Aku melakukan apa yang ia minta. Menurutnya, ini adalah cara untuk bertemu dengan Kala. Aku manut saja.

No comments: