Thursday, March 11, 2010

Akhirnya

Akhirnya tak ada lagi secangkir kopi pahit yang bisa menemani bangunku dari ranjang yang berdecit-decit warisan ibuku. Sudah ku janjikan bahwa hari ini, kopi pahit yang selalu ku tuang dalam mug warisan ayahku, sejak hari ini ditiadakan. Bukan karena aku tak lagi punya uang untuk membeli kopi pahit di warung sebelah, tapi karena memang sudah bukan saatnya menyesap kopi pahit. Ia selalu meninggal mimpi buruk di setiap serupan.

Aku ingat sekali bagaimana punggung terasa terbakar akibat mimpi buruk seminggu yang lalu. Memang aku tak ingat itu mimpi apa sebenarnya, karena hanya gelap yang terasa dan semakin gelap, punggungku semakin panas. Aku sempat tanya ke seorang teman yang kebetulan seorang dokter tentang punggungku yang terasa panas karena bermimpi, ia tak tahu, katanya mungkin sedang sumuk saja.

Entah bagaimana mulanya, akhirnya aku pada kesimpulan bahwa kopi pahit itu yang menyajikan mimpi buruk yang berakibat pada pungungku yang panas. Mungkin karena kegelapan dalam mimpiku menyerupai warna hitam kopi pahit itu atau juga karena rasa pahitnya hampir segetir mimpi itu. Ya, anggap saja begitu.

Dan sesuai janjiku, kopi ini akan ku lenyapkan dari pagiku.

Sesungguhnya berat untuk meniadakan kopi pahit itu. Bayangkan saja hampir separuh hidupku, ku habiskan dengan mengkhianati pagi dengan hitamnya kopi pahit.

Suatu ketika pacarku tidur dirumahku, pagi-pagi ketika aku bangun, ia membuatkan teh manis hangat dan camilan gorengan. Aku sama sekali tak menyentuh teh manis itu. Aku kedapur untuk membuat kopi pahit, tapi bungkusan kopi pahit itu sudah tidak ada di dapur. Pacarku membuangnya. Ia menyambangiku ke dapur lalu berkata,

“Aku yang membuang kopi pahitmu itu,” akunya.
Aku hanya menatapnya.
“kopi pahit tak baik untuk kesehatan, minumlah teh manis ini” katanya sambil menyodorkan teh manis yang ia buat dalam mug warisan ayahku.

Aku tak membalas. Ia menangis dan langsung berlari meninggalkan dapur. Setelah kejadian itu, ia tak pernah lagi datang ke rumahku. Menemuiku pun tak lagi. Namun terkadang ia mengirimku SMS yang sama, yang bunyinya kira-kira seperti ini,

Kopi tak baik untuk kesehatanmu, cintailah tubuhmu, seperti kau pernah mencintai aku

Pikirku, perempuan ini sinting, bagiku ia bahkan tak lebih penting dari pada ranjang berdecit warisan ibuku atau mug berwarna abu-abu warisan ayahku dan tentunya tak lebih penting dari kopi pahit. Aku tak sedang merendahkan mantan pacarku, tapi saat itu, ia tak lebih penting dari semua itu.

Ranjang warisan ibuku itu adalah ranjang ternyaman sekaligus menyakitkan. Ranjang ini begitu nyaman untuk ditiduri. Per-per nya begitu lentur, jika tidur diatas nya seolah tenggelam didalamnya. Begitu lembut.

Dulu ketika ibuku masih hidup, ranjang itu digunakan untuk mengikatnya sampai ia tenang. Ibuku tidak waras alias gila. Ia gila ketika aku kecil. Menurut cerita-cerita saudaraku, ibu gila sejak kakakku yang laki-laki lari dari rumah untuk menikahi pacarnya yang seorang pelacur. Tapi belum sempat menikah, kakakku lebih dulu meninggal dibacok pengedar yang kesal karena utangnya tak kunjung dilunasi.

Kakek dan ayahku berkerjasama untuk mengikat ibuku ditempat tidur itu jika sedang mengamuk. Sampai akhirnya, ibu juga meninggal ditempat tidur berdecit itu. Menurut ayahku yang sedikit menyukai hal-hal klenik, jika ranjang itu berdecit sendiri tanpa ada orang yang tidur diranjang, arwah ibu sedang mengencot-encot tempat tidur itu, seperti ketika ia masih hidup.

Sedangkan mug warisan ayahku, adalah mug warisan turun temurun sejak kakek buyutku. Mug itu tidak pernah digunakan untuk menyajikan minuman lain selain kopi. Menurut cerita kakek, mug itu didapat dari seorang tentara belanda yang dibunuh oleh kakek dirumah tentara belanda itu. Mug itu ia ambil diam-diam sebelum rumah belanda itu dibakar. Mug itu bentuknya biasa saja, tapi mug itu menjadi kebanggaan kakek buyut karena menjadi kenangan ia pernah membunuh seorang tentara belanda.

Pada dasar mug itu sudah terlihat hitam, karena dulu sempat menjadi asbak selama satu tahunan setelah ayah meninggal. Akhirnya abu rokok dan ampas kopi menjadi kolaborasi yang membuat cangkir itu menjadi kusam. Jika teman-temanku datang berkunjung, mereka sering mengomentari mug ini. Kata mereka, mug ini tak pantas lagi buat minum air apapun, cocoknya untuk asbak.

Aku sendiri masih heran kenapa mug ini menjadi special, percaya atau tidak, seberapa pun dituangkan gula kedalam mug, kopi dalam mug tetap pahit seperti tanpa gula. Mungkin ini akibat pernah dipakai sebagai asbak.

Aku akhirnya berhasil meniadakan kopi pahit pada pagi ini.

Hari sudah semakin siang, telpon berdering, awalnya ku diamkan saja. Setelah beberapa lama, telpon it uterus berdering, ku angkat juga akhirnya.

“halo” kataku.
“halo, apa kau siap mati hari ini?” kata seseorang yang ku duga adalah seorang wanita.
“kau siapa?” tanyaku.
“apa kau siap mati hari ini?” tanyanya lagi.

Mendadak punggung ku menjadi sangat panas, panas itu tidak merambat keseluruh tubuh. Ku lemparkan gagang telpon, lalu lari menuju kamar mandi. Aku langsung berendam dalam bak mandi yang hanya berukuran lebar 1x1 meter.
Dari punggungku keluar asap, tulang-tulang punggung ku bergemeretak persis seperti decit ranjang warisan ibuku, setelah beberapa menit, panas itu mereda, dengan pakaian basah aku keluar dari kamar mandi dan duduk diranjang.

Aku masih gemetaran, aku melirik ke meja telpon, Aku berjalan mendekati meja dan meraih gagang telpon, tak ada lagi suara yang kuduga suara perempuan tadi. Tiba-tiba punggung terasa hangat dan perlahan-lahan pada pundakku kiri dan kanan terasa seperi ada yang keluar.

Aku benar-benar terkejut, sepasang sayap keluar perlahan-lahan dari kedua pundakku. Seperti pada film-film Hollywood. Sayap itu mengepak-ngepak, lama-kelamaan aku terangkat dari lantai. Seperti seorang burung aku terbang. Sayap-sayap itu membawaku keluar rumah menuju kearah timur kearah tempat pemakaman.

Disana kuliah seorang perempuan yang ku kenal, ia membawa bunga dalam keranjang, berjalan menuju salah satu makam yang belum dikeramik. Sayap-sayap itu membawaku mendekati makam itu. Aku diturunkan tepat disamping perempuan muda yang sedang menaburkan bunga pada makam.

Pada nisan makam itu tertulis, Matahari lahir 23 Januari 1987, meninggal 23 Januari 2010, pada usia ke 23. Lamat-lamat ku dengar perempuan itu berbicara,

“sudah kubilang, kopi pahit tak baik untuk kesehatanmu, seharusnya kau minum jus saja”

Matahari adalah namaku.