Berpisah adalah bagian hidup cukup sering ku alami. Sejak
kecil aku sudah dikenalkan perpisahan. Ketika baru berumur lima tahun aku harus
berpisah dengan kota Jogja dengan segala kenikmatannya menuju perantauan
terpencil di Lampung tengah. Hal paling menyesakkan untuk anak sekecil aku
waktu itu adalah tidak bisa lagi mendapatkan es krim dan main ding-dong. Di
perantauan itu, jangankan supermarket atau pusat keramaian, listrik saja belum
ada.
Suatu ketika, karena berkali-kali merengek, akhirnya ibu
yang waktu itu kebetulan menuju kota untuk belanja, membelikan es krim. Nahas,
sebelum sempat aku merasakan dinginnya es krim menjalar dalam mulut, es krim
sudah mencair lantaran perjalanan dua jam dari kota ke tempat tinggalku. Tapi
peduli setan, es krim yang meleleh pun tetap ku lahap. Sementara itu ibu
menangis melihatku dan es krim meleleh itu.Memasuki kelas lima SD, aku harus berpisah dengan kawan-kawanku. Hari itu, tanpa sempat berpamitan dengan kawan-kawanku, kami sekeluarga pindah ke Jambi. Aku kembali merasakan perpisahan yang cukup membuatku kaget karena tak lagi punya teman main ke kali dan sawah. Setelah itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengan kawan-kawanku itu. Kijan, Dani, Bagio, Sugirin, Antok, Muhafid, Mardian, Herman, Dwi, Agung dkk.
Berajak SMA, aku kembali harus berpisah. Kali ini dengan keluarga. Pindahnya bapak ke Lampung membuatku harus berpisah dengan adikku, ibuku. Sementara kakakku sudah terlebih dahulu meninggalkan kami menuntut ilmu di lereng gunung Merbabu. Momen paling menyesakkan adalah ketika keberangkatan adikku, laras, yang waktu itu masih duduk di bangku SD. Pagi itu, sekalian berangkat bapak, ibu dan laras ke Lampung, aku diantar berangkat sekolah. Ketika aku turun dari mobil, laras mewek sembari memanggilku. Aku hanya melambaikan tangan, tersenyum lalu menutup pintu mobil. Ku lihat laras menangis di dalam mobil. Momen itu selalu berhasil membuatku terharu jika mengingatnya.
Seorang diri di Jambi membuatku menggantungkan diri pada
teman-temanku. Theo, Suprat, Rahman, Bowo, Sukron, Iqbal mereka adalah
sahabat-sahabatku yang nyaris tiap hari selalu menghabiskan waktu bersama. Setelah
lulus, ku tekadkan untuk pulang ke Jogja dan kuliah disana. Dan kembali lagi
aku harus berpisah dengan mereka. Terlebih lagi, terpaksa harus putus dan
berpisah dengan pacar. Untuk ukuran anak SMA, hal itu cukup membuat sesak hati.
Setelah di Jogja, aku harus kembali berpisah untuk kedua
kalinya dengan adikku dan ibuku. Karena alasan yang sama adikku dan ibu kembali
lagi ke tanah Sumatra. Perpisahkan kali ini membuatku merasa bersalah dan
menyesal. Aku menolak mengantarkan mereka pergi dari Jogja. Kalau saja waktu
bisa berulang, dengan segala resiko yang mungkin terjadi pada waktu itu, aku
akan dengan ikhlas mengantarkan mereka pergi.
Tujuh tahun di Jogja terasa begitu cepat. Rasanya baru saja
aku mendaftar ospek dan kini sudah menjelang tahun terakhir di kampus. Selama
tujuh tahun ini, setiap harinya aku dikelilingi sejenis manusia yang itu-itu
saja, dengan segala jenis keanehan perilaku mereka. Mereka adalah
sahabat-sahabat baru yang ku kenal di rumah cinta Ekspresi dan di jalanan.
Setelah tujuh tahun melewati susah senang bersama, rasanya tak ikhlas jika
harus berpisah dengan mereka. Sejujurnya aku ingin selalu bersama dengan
mereka, bekerja bersama, tinggal di satu komplek yang sama, dan nantinya ngemong anak-anak kami masing-masing
bersama-sama.
Masa-masa ini membuatku berpikir bahwa aku trauma dengan
sebuah perpisahan. Terlebih lagi, ketakutan ini semakin menguat ketika nyaris
tidak ada lagi jalan bagi aku dan kekasihku untuk terus bersama. Aku semakin
merasa takut pada perpisahan. Aku merasa sudah cukup merasakan perpisahan.
Dengan segala ketakutan ini, aku menolak perpisahan ini. Meski perpisahan ini
sudah dipersiapkan, tetap saja aku akan berusaha sekuat mungkin untuk
mengingkari. Semoga tak terjadi.
No comments:
Post a Comment