Saturday, July 14, 2007

Mengertilah wahai kaum hawa…

Pagi itu adalah pagi yang biasa, matahari masih tebit dari timur dan ayam jantan masih berkokok menyambutnya. Dan aku pun sama seperti biasa bangun tidur, lalu menyeduh kopi instant dan duduk manis diberanda kos-kosan menghirup sisa nafas yang masih diberikan Tuhan. Sampai pada titik dan detik ini semuanya biasa saja, sampai beberapa menit kemudian manusia dari keturunan hawa berparas bidadari itu datang. Tentu saja bukan padaku. Bukan mecari aku. Pikiranku masih tersihir oleh paras kaum hawa itu, meliuk-liuk menjelajahi segala dunia khayalku. Aku melamun…

“permisi mas, Aldo nya ada?” suara lembut keluar dari bibir yang tipis manis bidadari itu, samapai aku terpesona dan hanya bengong melihat keagungan seorang dewi khayangan tersebut.

“mas…” panggilnya lagi sambil mendekat dan melambai tanganya kedepan mukaku.

“ya..” jawabku gugup.

“aldo nya ada?”

“ada, tunggu sebentar ya…”

Aku beranjak dari kursi, dan memanggil aldo. Aldo adalah teman satu kos ku, satu universitas tapi beda fakultas. Dia cowok yang ganteng, tajir pula. Dengar-dengar cerita bapaknya salah seorang pejabat didaerah jawa barat. Kehidupannya lumayan glamour, setiap malam dugem ampe pagi. Dan pulang dalam keadaan setengah sadar.

Aku ketok pintu kamarnya,

“do…do…bangun, ada yang nyari kamu”

Ku ketok lagi pintu kamarnya lebih keras dan sedikit berteriak memanggilnya…

“do…!!! Aldo…!!!” tapi pintu juga tidak dibuka, dan tidak ada balasan dari dalam kamar.

Kaum hawa berparas bidadari itu menghampiriku dan ikut memanggil-manggil aldo.

“do..bangun…!!!”teriak nya sambil menggedor pintu.

Pintu terbuka sendiri, dari luar tampak poster kurt cobain sedang mengisap rokok dan memegang gitar terpampang pada dinding kamar yang berwana putih. Kami bedua masuk kedalam kamar aldo. Astaga…

Rumah Sakit Betesda tampak begitu sepi, lantai keramik yang kinclong dan bau obat merebak membuat aku menjadi pusing. Diruang tunggu aku duduk disebalah bidadari tadi, mukanya sekarang pucat sepucat pakain suster-suster, tidak seperti tadi pagi pagi waktu bertemu. Badannya menggigil menahan sedan. Aku sendiri cemas, semakin cemas ketika melihat bidadari itu menggigil dan semakin pucat.

“mbak tenang aja” kataku mencoba menanangkan.

Dia hanya menoleh sebentar lalu kembalu menunduk memandangi lantai rumah sakit. Pintu pavilium terbuka, pria setenagh baya keluar lengkap dengan pakaian masker dan stetoskop di lehernya.

“bagaimana Dok?” aku menyambut dokter itu sambil berdiri mendekatinya. Bidadari pucat itu sekarang ikut berdiri dan berjalan mendekati dokter itu juga.

“masa krisis sudah lewat, tapi belum siuman, mungkin baru beberapa hari bisa siuman. Kalian keluarganya?”

Aku melirik kearah bidadari pucat itu, dia pun melirikku. Wajahnya masih pucat,dan bibirnya seolah tak bisa terbuka.

“bukan dok, temen kuliah”jawabku.

Diburjo dekat kosku, bidadari itu masih pucat, kutawarkan teh hangat padanya. Dia hanya menganguk. Mas asep penjaga burjo datang mengantarkan 2 gelas teh hangat.

“mas bubur ayamnya juga…” sahutku.

“mbaknya pesen apa?” mas asep betanya.

Dia masih diam, tak menjawab.

“mbak,…” suaraku sekarang ini mulai diresponnya.

Dia melirik, lalu menegak the hangat didepannya.

“mas…bubur ayam juga” katanya dengan suara yang masih diiringi tarikan nafas yang berat.

“anggita…, pacarnya aldo” katanya sambil menengok.

“tirta, teman kosnya aldo” jawabku.

Mas asep datang tanpa suara dan meletakan dua mangkok bubur ayam dimeja.

“lebih baik dimakan dulu mbak…” kataku.

Dia hanya mengangguk angun tapi masih dengan nafas sesak.

Beberapa suapan telah mengilang didalam mulutnya. Diteguknya lagi teh hangat.

“kamu tahu kalau Aldo pemakai?” tanyanya.

“nggak tahu mbak…”

“jangan panggil mbak panggil aja gita.” Aku menganguk. Dia mulai meneruskan “sudah lama aku beri tahu Aldo untuk berhenti, tapi tetap saja makai.”

Lagi-lagi aku hanya menganguk. Mengangguk penuh ketidak mengertian.

“habis ini antar aku kekamar kosnya ya…”

Tanpa bersuara aku mengagguk lagi. Lalu kuhabiskan suapan terakhir bubur ayamku.

Kos-an ku tampak sepi, hnay ada ibu kos yang duduk di kursi ruang tamu sambil menyulam. Aku dan anggita masuk, dia hanya melirik lewat kacamata separo bulannya.

Menaiki tangga, lalu sampai lah kami di depan pintu kamar Aldo. Aku diam. Anggita masuk kedalam kamar. Entah apa yang diambilnya aku tak tahu. Yang aku tahu dia memasukan sesuatu dari lantai kedalam tasnya. Dia keluar dari kamar. Melihat wajahku yang penasaran dia langsung menjelaskan.

“suntikan Aldo, takut kalau ada polisi.”

Aku juga hanya mengangguk. Lalu memberi jalan padanya.

“sudah lama satu kos dengan Aldo?” tanyanya.

“sudah, sejak pertama masuk kuliah.” Jawabku. “silahakan duduk” kataklu sambil menunjuk kearah kursi temapat tadi pagi aku duduk saat dia datang.

Dia meraih lengan kursi dan menyeretnya sedikit. Lalu duduk. Aku masih berdiri.

“makasih udah bantuin tadi” katanya lagi tanpa menatapku.

“sama-sama, kalau kamu nggak dating, mungkin aku gak tahu kalau aldo OD.”

Dia hanya tersenyum.

Dua hari setelah itu aku dating kerumah sakit untuk menjenguk Aldo. Memasuki pavilium yang bau obat, sudah kulihat anggita duduk disebalah aldo yang sudah siuman. Aku masuk.

“ehm…”aku berdehem.

Anggita menoleh.

“masuk Ta…”sahut aldo.

“udah baikan do?”

“lumayan, mungkin 2 hari lagi aku sudah bisa pulang” jawabnya.

Aku mengambil posisi duduk disebelah anggita.

“sudah kenalkan sama anggita?” Tanya aldo.

“sudah…”jawabku singkat. Anggita meliriku sambil tersenyum.

Menit-menit berlalu dengan obrolan lepas. Sampai akhirnya seorang suster mengakhiri obrolan kami bertiga.

“jam kunjung sduah habis, besok boleh menengok lagi.” Kata suster itu ramah.

Aku dan anggita pun keluar dan disusul oleh suster.

Di depan gerbang rumah sakit kami berdua saling diam. Sampai akhirnya anggita memecahkan sendiri kediamannya.

“mau langsung pulang Ta?”

“nggak juga” jawabku.

“kita ngopi dulu yuk…!” ajak anggita.

“boleh.” Sahutku. Beberapa menit kemudian taxi berhenti didepan kami. Dan kami pun langsung melaju ke rumah kopi.

Aku duduk behadapan dengannya, di meja kecil dengan empat kursi. Rumah kopi sekarang berbeda. Dulu aku penah datang kesini, tapi tidak seperti ini. Dulu hanya ada sektar 8 meja, sekarang sudah lebih dari sepuluh, bahkan ada juga meja didekat pakiran. Desain ruangannya juga beda. Dulu dindingnya bercat hitam kopi, tapi sekarang berwana coklat, menimbulkan kesan elegan. Aku jadi ingat waktu pertama kali ke rumah kopi ini bersama devi. Aku duduk beberapa meter dari meja ku sekarang ini. Dengan capucino panas didepanku, dan devi semakin menambah aroma nikmat dari capucino itu. Aku menatapi sentumnya yang melingkar indah. Dan dia terus tersenyum…

“ta..” suara anggita menarikku dari ruang waktu ingatanku.

“ya…”

“mau pesan apa?”

“capucino hangat”

Pelayan mencacatan pesananku lalu pergi.

Kami mulai berbincang-bincang. Tak kusangka bidadari yang ada didepanku ini adalah peempuan yang lucu. Bebeapa joke terlempar ari mulutnya yang melengkung tipis membuat aku terbahak. Siapa sangka. Aku kira dia adalah gadis yang pendiam dan anggun. Ternyata dia juga sama dengan gadis yang lain. Suka gossip. Beberapa gossip tentang artis juga menjadi bahan pembicaran kami. Meski pun aku tidak tahu apa dia ceritakan, aku tetap juga menganguk dan tersenyum.

Sampai saatnya dia seperti kehabisan bahan pembicaraan, dia mulai membuka pembicaraan tentang hubungannya dengan Aldo. Dia mulai bercerita :

“Tahu nggak, tempat ini pertama kali aku kencan sama aldo. Dulu dia baik sekali, sekarang pun masih baik. Tapi tidak sepeti dulu. Sekarang sejak dia makai, mulai berubah. Aku sudah berkali-kali mengatakan pada nya untuk berhenti makai, tapi tak pernah digubrisnya. Samapai berkali-kali aku mengatakan itu, tapi tetap saja makai. Aku capek. Penah dia bilang akan berhenti, tapi toh sekarang terbukti, dia beum berubah. Tetap makai. Dan sekarang OD…, menurut mu aku harus gimnan Ta?”

Aku diam, takut untuk menjawab.

“ya,…sakit banget saranya….” Semakin lama ceritanya semakin meluap menjadi sedan.

“udah jangan nagis. Udah malam, baiknya kita pulang aja.”

Jam sudah menunjukan pukul 20.23. aku menghentikan taxi dan ikut mengantarnya sampai dikosnya.

Samapai depan kosnya dia turun dan aku juga.

“Ta…mampir dulu ya…aku butuh teman ngobrol” pintanya.

Aku menolak, tapi lama kelamaan aku tak sanggup melihat genangan air yang masih ada di matanya. Dan ku putuskan untuk singgah sebentar. Aku dan dia duduk diruang tamu kosnya. Dia mulai bercerita lagi. Cerita yang sama dengan ceritanya dirumah kopi beberapa menit yang lalu. Tapi kali ini di benar-benar menangis. Dia kemudian menagis dipundakku. Aku bingung. Lalu ku dekap saja tubuhnya dalam pelukanku. Isaknay semakin samam semakin tak terdengar. Dia tegakkan kepalanya. Memandangku. Enatah bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Tanpa sadar bibir kami sudah menyatu. Beberapa detik aku belingsatan.

“maaf” kataku.

Dia tak menjawab, masih diam.

“baiknya aku pulang.”

Aku langsung keluar dari ruangn tamu kosnya. Aku berjalan sepanjang trotoar, ada perasaan senang tapi juga bersalah. “dia pacar temanku”kataku dalam hati.

Pagi itu seperti biasa aku duduk dikursi beranda sambil menyerup kopi instant. Sudah kulpuakan kejadian itu. Aku anggap tak pernah terjadi. Sebuah taxi kulihat berhenti didepan halaman. Aldo rupanya sudah pulang dari rumah sakit. Di berjalan menaiki tangga bersama anggita. Aku bangkit berdiri menyambut dengan senyum kearah aldo. Aldo memdekatiku, layangakn tinjunya ke muka sampai aku nyaris pingsan. Kepalaku terasa berat. Sayup-sayup ku dengan suara anggita.

“maaf Ta…”

1 comment:

Anonymous said...

cerpen yang menarik.
cowok yang terjebak perempuan lemah. niatnya nolongin tapi malah ...