Thursday, July 5, 2007

Anak kecil minta antar pulang…(Humanis)

Sore ini kusempatkan untuk menengok sedikit keadaan kampus tercinta yang semakin lama semakin sepi karena liburan. Mampir dulu beli senar gitar, lalu melaju lagi ke kampus ekspresi. Dipertigaan Demangan-Colombo, berhenti karena lampu merah. Seperti biasa anak-anak (pengemis-red) menghampiri, salah satunya perempuan yang kira-kira berusia 9-11 tahun dengan kaos agak kebesaran dan sudah kumal tentunya. Dalam hati sudah menduga "ne anak bakalan minta uang dengan alasan buat makan". Semakin lama semakin mendekat, dengan sepele ku pasang tampang kasihan tak berdaya, sambil mengisyaratkan tidak ada uang receh. Namun tenyata salah dugaanku,

“mas numpang sampai ring road ya?” tutur bocah itu sembari menuju belakang motor hendak langsung naik.

“maaf nggak kearah ring road aku” jawabku gugup.

Lampu hijau menyala, aku mulai ngegas, sepintas berdesir juga darah ini, ada perasaan bersalah melihat wajah anak tadi sedikit memelas. Sempat terbesit untuk berhenti dan menawarinya tumpangan, tapi tenyata memang pintu neraka lebih lebar dari pintu surga.
Kejadian itu mengingatkanku pada saat aku terdampar dipalembang kira-kira 2 tahun yang lalu. Ketika itu aku hendak mencari kampus STAN, karena buta sama sekali dengan wilayah palembang tak tahu mau naik bus apa, nekat saja aku ke pos polisi untuk minta antar ke kampus STAN. Dengan ransel besar dipundak, sedikit letih karena perjalanan 2 jam dari betung ke pelembang menuju ke pos polisi.

“pak kampus STAN dimana? bisa minta tolong antar gak pak?” tanyaku dengan polos kepolisi yang jaga.

Tapi polisi itu hnaya menjelaskan kalau mau ke kampus STAN naik bis Km.12, nanti turun di Km.5.
Sungguh perih rasanya mendengar jawaban pak polisi itu. Mau nangis sudah aku, dan akhirnya ku putuskan coba naik bis seperti yang jelaskan pak polisi tadi, tapi naas aku tetap nyasar. Alhasil sore ketika matahari mulai bersembunyi,ku putuskan untuk ke tempat om bambang teman bapakku.
Aku pikir-pikir mungkin sama perasaan anak tadi dengan persaan saat dipalemabang dulu. Pedih, ingin nangis, pokoknya tidak mengenakkan. Jadi merasa berdosa aku, membiarkan sesuatu yang buruk yang pernah menimpaku terjadi lagi pada orang lain. Harusnya aku bisa mencegah.
Masih heran juga aku dengan gembar-gembor orang tentang “humanisme”. Beberapa waktu yang lalu aku membaca disuratkabar KR sebuah artikel tentang humanisme. Dan bahkan seorang teman juga menulis tentang humanisme di EXPEDISI. Malu seharusnya orang-orang seperti aku yang juga meneriakkan HUMANISME tapi pada kenyataannya tak bisa berbuat apa-apa.
Ada yang menarik yang aku tangkap dari kejadian tadi. Kepercayaan dan harapan. Anak itu percaya bahwa masih akan ada orang yang mau memberi dia tumpangan, dan berharap akan ada orang yang seperti itu. Entah itu suatu kepolosan atau karena terdesak atau memang hanya rekayasa untuk ngemis. Kalau itu adalah suatu kepolosan sangat perlu dibanggakan. Sudah lama tak pernah lagi kudengar ada seseorang menyetop kendaraan orang yang tidak dikenal untuk nebeng pulang kerumah.

balik lagi ngomong soal humanis, kabarnya UNY sekarang pake semboyan kampus humanis, perlu dipertanyakan pula sisi humanis yang seperti apa?
apa dengan meloloskan RUU BHP adalah tindakan humanis?
ah tak tahu lah...
yang jelas ada sesuatu yang perlu di ubah...

perubahan yang sama digaungkan oleh kaum maxisme, sejarah berahkir dengan masyarakat tanpa kelas... semoga...

No comments: