Wednesday, April 25, 2007

manusia kerdil (1)


Yang berkejaran saat ini adalah angin dan matahari yang mencuat dari dasar laut, berlarian waktu menembus tembok pelangi, memerangi hutan biang onar, saat itu malu-malu cahaya masuk lewat celah genting kamarku, membuat aku harus memicingkan mata menahan silaunya. jalanan telah dibanjiri sinar matahari, orang-orang meraup muka mereka dengan mentari yang sebenarnya kejam. bayang kan saja siang kemarin dia menghajarku, menusuk kulitku, dan membuat kepala pusing, cairan tubuhku menguap menyisakan sedikit tenaga untuk meluncur kembali keatap tempatku tidur. pagi ini harus berjuang lagi aku meniupi sebuk tidur yang bertimbunan dikamarku, kepalaku penat, rimbunan masalah membuat aku enggan meninggalkan mimpi ku yang indah. kulangkahkan kaki menuruni tangga, membasuh muka, lalu menyedup secangkir kopi.
selepas jam 9, bergegas meninggalkan tempatku bersembunyi, masih dengan khayalan tentang mimpiku semalam, aku bermimpi bahwa aku tak perlu lagi melangkahkan kaki untuk mendapatkan yang ku mau. aku sadar sejak beberapa hari yang lalu aku selalu mengeluhkan perjalananku, begitu berat, boleh dikatakan sampai berdarah darah berjalan hanya untuk sedikit ketenangan. tapi entah apa yang membuat ku tetap memilih jalan idealis untuk berangan-angan dan menjadi penunutun jalanku. atau sebenarnya aku takut denan realitas, bahwa aku tak mampu menahlukkan realitas, aku hanya menang dalam pertarungan idealisme, dan menjadi manusia kerdil ketika harus turun tangan menghadapi realitas yang sangat kejam. awalnya hampir semua kepercayaan yang diembankan orang kepadaku selalu dapat ku jaga, dan kemudian banyak mereka yang kemudian memujiku, dan lagi lagi aku terbuai..., dan saat saat itu sekarang berlalu, hanya sebagian orang yang masih mempercayaiku (kemampuan ku lebih tepatnya), entah sejak kapan aku kehilangan kepercayaan diriku, aku menjadi pengecut tak berani lagi mengahadapi tantangan yang diberikan orang, aku merasa malu ketika tak sanggup mengemban kepercayaan itu. dunia ku menjadi semakin sempit ketika aku benar-benar menghadap jalanan yang panas, aku rasanya mulai sadar bahwa yang ku bangun selama ini adalah tembok duniaku sendiri, aku membangunnya begitu megah tapi sempit, saking sempitnya sulit aku menarik nafas, dan ketika aku mengancurkan tembok itu, aku menjadi semut diantara kaki-kaki manusia. lalu berlarian bersembunyi takut terinjak. bahwa aku takut dan malu, aku akui itu, tapi bukan aku tak mau berusaha, banyak jalan yang coba kutembut untuk membuat aku menjadi seperti dulu. sebenarnya itu mudah saja untuk mendapat ketenangan, aku hanya kembali ke dunia idealismeku, dan menutup rapat-rapat realitas yang ada. dan aku akan tenang lagi. tapi apalah arti sebuah idealisme kalau tak mampu membuat realitas menjadi lebih baik, banyak orang sedah memilih jalan yang lebih realistis, ketimbang harus mengumbar idealismenya yang kemudian membuat mereka menjadi kerdil sama seperti aku saat ini.
manusia kerdil..., layakkah aku mendapat sebutan itu....?
jujur saja aku tak rela jika aku menjadi kerdil, aku malu pada bapak yang banting tulang dan akhirnya cuma ku balas dengan kekerdilanku. aku tak bisa setegar bapak ku, dan aku tak bisa sekuat ibu ku, mata-mata mereka yang penuh kebanggaan ketika menceritakan bahwa anaknya kini mengenyam dunia pendidikan sarjana disalah satu perguruan tinggi negeri, membuat ku tersayat sayat, karena pada dasarnya aku tak seperti yang mereka bayangkan. aku tak sekuat itu, aku tak setangguh itu, dan aku tak pantai itu. tak mulutku tak tega kalau harus mengatakan kepada mereka bahwa aku putra keduanya telah menjadi kerdil dan takut akan realitas hidup. dalam idealisme mungkin akulah yang jadi penguasa yang berada diatas angin, tapi dalam realitas aku tak ubah cacing yang mengeliat tak berdaya tersengat mentari di atas aspal panas. aku ingat ketika satu semester berlalu, bapak matanya menyala-nyala ketika menerima hasil ujianku, saat itu aku puas karena diatas kertas aku telah membuat orang tua ku mampu membusungkan dada dan merasa bahwa kerja keras mereka tak sia-sia. tapi ternyata itu adalah kebodohanku, menggiring orang tua ku menjauhi kelemahanku, jadi yang mereka lihat hanya bagian keberhasialanku saja, tapi tentu saja tak sepenuhnya keberhasilanku, bukan kepengucutanku menghadapi realitas.
sekarang aku bilang kepada realitas bahwa aku bersembunyi sejenak mengumpulkan tenaga, untuk bertarung lagi meladeninya. tapi sampai detik ini masih belum berani aku untuk mengakui keangkuhanku, kesombonganku, dan mengakui kekalahanku. kerdilnya aku...., tak berani mengatakan kesalahanku sendiri.
mungkin juga aku terlalu lama dibuai idealisme, idealnya aku itu sperti ini..., harusnya aku seperti itu..., tapi tak pernah dan tak berani aku lihat kenyataan....,
bersambung....

No comments: